Saat Cemburu Menyapa


Cemburu merupakan tabiat dan shahabiyyah yang lain.wanita. Ini juga dialami para istri Rasulullah Namun tentu saja, kecemburuan ini tidak serta merta membutakan hati mereka. Bagaimana dengan kita?

Cemburu tak hanya milik lelaki, tapi juga milik kaum wanita. Bahkan, wanitalah yang dominan memiliki sifat yang satu ini karena merupakan tabiatnya. Dan perasaan cemburu ini paling banyak muncul pada pasangan suami istri (Fathul Bari, 9/384).
Oleh karena itu, semestinya hal ini menjadi perhatian seorang suami. Sehingga ia tidak serampangan dalam meluruskan ‘kebengkokan’ sang istri dan dapat memaklumi tabiat wanita ini selama dalam batasan yang wajar. Apalagi pada hakikatnya, kecemburuan istri terhadap suaminya bukan merupakan hal yang tercela. Bahkan menjadi tanda adanya rasa cinta di hatinya. Tentunya selama tidak melampaui batasan syariat.
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, asal dari sifat cemburu bukanlah hasil usaha si wanita, namun wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut. Namun, bila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang semestinya, maka menjadi tercela. Bila seorang wanita cemburu terhadap suaminya karena sang suami melakukan perbuatan yang diharamkan seperti berzina atau mengurangi haknya atau berbuat dzalim dengan mengutamakan madunya (yaitu istri yang lain, bila si suami memiliki lebih dari satu istri), kata Al-Hafidz, cemburu semacam ini disyariatkan (dibolehkan).
Dengan syarat, hal ini pasti dan ada bukti (tidak sekedar tuduhan dan kecurigaan). Bila cemburu itu hanya didasari sangkaan, tanpa bukti, maka tidak diperkenankan. Adapun bila si suami seorang yang adil dan telah menunaikan hak masing-masing istrinya, tapi masih tersulut juga kecemburuan maka ada udzur bagi para istri tersebut (yakni dibolehkan) bila cemburunya sebatas tabiat wanita yang tidak ada seorang pun dari mereka dapat selamat darinya. Tentu dengan catatan, ia tidak melampaui batas dengan melakukan hal-hal yang diharamkan baik berupa ucapan ataupun perbuatan. (Fathul Bari, 9/393)

Cemburu Melebihi Batas
Ada kalanya kecemburuan seorang istri terhadap suaminya sangat berlebihan. Di benaknya seolah hanya ada sifat curiga. Bahkan tak jarang ia melemparkan prasangka buruk kepada suaminya dan tidak bisa menerima kenyataan bila suaminya memiliki istri yang lain.
Yang ironis adalah bila ada istri yang mengalami hal ini kemudian tidak dapat menahan diri dari perkara yang Allah haramkan, seperti lari ke “orang pintar.” Dengan bantuan tukang tenung atau tukang sihir, ia berharap suaminya membenci madunya dan hanya mencintai dirinya. Padahal perbuatan sihir merupakan perbuatan kekufuran yang diharamkan, sebagaimana Allah nyatakan dalam firman-Nya:

“Dan mereka (orang-orang Yahudi) mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman1 (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidaklah kafir2 akan tetapi setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidaklah mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum keduanya mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanyalah cobaan bagimu, karena itu janganlah engkau berbuat kekafiran.’ Maka mereka mempelajari sihir dari keduanya yang dengannya mereka dapat memisahkan antara suami dengan istrinya. Tidaklah mereka dapat memberi mudharat kepada seorang pun dengan sihir tersebut kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Sungguh mereka telah mengetahui bahwa barangsiapa yang menjual agamanya (menukarnya) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat. Betapa jelek perbuatan mereka menjual diri mereka dengan sihir itu seandainya mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 102)
juga bersabda:Nabi

“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan. Para shahabat bertanya: ‘Apa tujuh perkara itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘(di antaranya) Syirik kepada Allah, sihir’…” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)
Saking cemburunya, sebagian wanita bahkan ada yang sampai berangan-angan tidak dibolehkannya poligami dalam syariat ini3. Bahkan ada yang membenci syariat karena menetapkan adanya poligami. Sebagian yang lain mengharapkan kematian suaminya bila sampai menikah lagi. Yang lain tidak berangan demikian, tapi lisannya digunakan untuk mencaci maki madunya, meng-ghibah4, dan menjatuhkan kehormatannya. (Nashihati lin Nisa, Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah, hal. 158-159)
Karena sifat cemburu ini pula, mayoritas wanita merasa mendapatkan musibah yang sangat besar kala suaminya menikah lagi. Semestinya bagi seorang mukminah, apapun kenyataan yang dihadapi, semuanya itu disadari sebagai ketentuan takdir Allah. Semua musibah dan kepahitan yang didapatkan di dunia itu sangat kecil dibanding keselamatan agama yang diperolehnya.

Salahkah Bila Aku Cemburu?
Mungkin sering muncul pertanyaan demikian di kalangan para wanita. . Mereka punMaka jawabnya dapat kita dapati dari kisah-kisah istri Nabi dalamternyata memiliki rasa cemburu padahal mereka dipuji oleh Allah firman-Nya:
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak sama dengan seorang wanita pun (yang selain kalian) jika kalian bertakwa…” (Al-Ahzab: 32)
Al-Imam tidak sama dengan wanita lainAl-Qurthubi menyatakan bahwa istri-istri Nabi dalam hal keutamaan dan kemuliaan, namun dengan syarat adanya takwa pada diri mereka. (Al-Jami` li Ahkamil Qur’an, 14/115)
sendiri sebagai seorangNabi suami memaklumi rasa cemburu mereka, tidak menghukum mereka selama cemburu itu dalam batas kewajaran.
‘Aisyah xbertutur tentang cemburunya:
“Aku tidak seperti cemburukupernah cemburu kepada seorang pun dari istri Rasulullah banyak menyebutnya dan menyanjungnya.”kepada Khadijah karena Rasulullah (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 2435)
‘Aisyah pernah berkata mengungkapkan rasa cemburunya kepada Khadijah:kepada Nabi
“Seakan-akan di menjawab: ‘Khadijah itudunia ini tidak ada wanita kecuali Khadijah? Nabi begini dan begitu5, dan aku mendapatkan anak darinya.’” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3818)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Sebab cemburunya ‘Aisyah karena banyak menyebut Khadijah meski Khadijah telah tiada dan ‘AisyahRasulullah aman dari tersaingi oleh Khadijah. Namun karena Rasulullah sering menyebutnya, ‘Aisyah memahami betapa berartinya Khadijah bagi beliau. Karena itulah bergejolak kemarahan ‘Aisyah mengobarkan rasa cemburunya hingga mengantarkannya untuk mengatakan kepada suaminya: “Allah telah menggantikan untukmu wanita yang lebih baik darinya.” Namun Rasulullah berkata: “Allah tidak pernah menggantikan untukku wanita yang lebih baik darinya.” Bersamaan dengan itu, kita tidak mendapatkan adanya berita yang menunjukkan kemarahan Rasulullah kepada ‘Aisyah, karena ‘Aisyah mengucapkan hal tersebut didorong rasa cemburunya yang merupakan tabiat wanita.” (Fathul Bari, 9/395)
berada di rumahPernah ketika Nabi seorang istrinya, salah seorang ummahatul mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi sedang berdiam di rumahnya segera memukul tangan pelayan yang membawa makanan pun mengumpulkan pecahantersebut hingga jatuhlah piring itu dan pecah. Nabi piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan lalu beliau letakkan di atas piring yang pecah seraya berkata: “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5225)
Hadits ini menunjukkan wanita yang sedang cemburu tidaklah diberi hukuman atas perbuatan yang dia lakukan tatkala api cemburu berkobar. Karena dalam keadaan demikian, akalnya tertutup disebabkan kemarahan yang sangat. (Fathul Bari, 9/391, Syarah Shahih Muslim, 15/202 )
Namun, bila cemburu itu mengantarkan kepada perbuatan tidak membiarkannya. Suatuyang diharamkan seperti mengghibah, maka Rasulullah saat ‘Aisyah berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, cukup bagimu Shafiyyah, dia itu begini dan begitu.” Salah seorang rawi hadits ini mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Aisyah adalah Shafiyyah itu pendek. Mendengar hal tersebut, Rasulullah berkata kepada ‘Aisyah:
“Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata, yang seandainya dicampur dengan air lautan niscaya akan dapat mencampurinya.” (HR. Abu Dawud no. 4232. Isnad hadits ini shahih dan rijalnya tsiqah, sebagaimana disebutkan dalam Bahjatun Nazhirin, 3/25)
Juga kisah lainnya, ketika sampai berita kepada Shafiyyah bahwa Hafshah mencelanya dengan mengatakan: masuk menemuinya“Putri Yahudi”, Shafiyyah menangis. Bersamaan dengan itu Nabi dan mendapatinya sedang menangis. Maka beliau pun bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Shafiyyah menjawab: “Hafshah mencelaku dengan mengatakan aku putri berkata menghiburnya: “Sesungguhnya engkau adalah putri seorangYahudi.” Nabi nabi dan pamanmu adalah seorang nabi dan engkau adalah istri seorang nabi, lalu bagaimana dia membanggakan dirinya terhadapmu?” Kemudian beliau menasehati Hafshah: “Bertakwalah kepada Allah, wahai Hafshah”. (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa, hal. 43 dan selainnya).


Wallahu a’lam.

Arti Sebuah Cinta


Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi

Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.

Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang dilarang Allah dan berfirman:. Allah Rasul-Nya Muhammad
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
dalam haditsnya dariRasulullah mengatakan: ‘Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumunishahabat Tsauban kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ menjawab: ‘Cinta dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297,Rasulullah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua negeri tersebut. Allah memberitakan bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”

Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)

Hakikat Cinta
Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.

Cinta kepada Allah
Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:

“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah mengikuti , faidah dan buahnya adalah kecintaan Allah kepada kalian. JikaRasulullah maka kecintaan Allah kepada kalian tidakkalian tidak mengikuti Rasulullah akan terwujud dan akan hilang.”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas binsisi Allah. Rasulullah :Malik
“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:
Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.
Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.
Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.
.Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah
Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia).
Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.
Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan . (Madarijus Salikin, 3/18, denganmenghalangi hati dari Allah ringkas)

Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama berfirman:sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)

“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)
adalah hadits Anas yang telahAdapun dalil dari hadits Rasulullah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”

Macam-macam cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam:
Pertama, cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.
Kedua, cinta syirik.
Yaitu mencintai Allah dan berfirman:juga selain-Nya. Allah

“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

Ketiga, cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan berfirman:apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah

“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)
Keempat, cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah berfirman:

“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf: 8)
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.

Buah cinta
mengatakan: “Ketahuilah bahwa yangSyaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
Asy-Syaikh menyatakan: “Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan‘Abdurrahman As-Sa’di dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)
Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.
Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram.
Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram.
Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.
Wallahu a’lam. 

Agar Umur Kemesraan Itu Bisa Tahan Lama


Seorang ibu rumah tangga paruh baya (sebut saja Bu Imah) belakangan ini mulai uring-uringan. Pasalnya dia merasakan sikap suaminya yang mulai kendor perhatiannya. Dalam arti, sang suami jarang lagi bertanya-tanya berbagai hal tentang keadaan di rumah. Hal yang dulu sebetulnya menjadi menu harian Bu Imah bila suaminya pulang dari kantor. Termasuk juga saat-saat menjelang tidur. Entah itu pertanyaan seputar keadaan anak-anak, keadaan dirinya, dan juga pertanyaan seputar aktivitas pengajiannya di luar. Pendek kata, Bu Imah merasakan suasana yang hambar serta membosankan dengan sikap pasif suaminya belakangan ini.

“Heran tuh, Mas-ku sudah tidak seperti dulu lagi. Kelihatannya mulai acuh sama aku. Mungkin dia sudah nikah lagi apa ya?” ungkap ibu tiga orang anak yang aseli Tegal itu cemas pada ibu sebelah rumahnya. Dia saat itu curhat panjang lebar tentang kondisi suaminya kepada teman ngobrolnya sehari-hari itu.

Usai diceritakan kisah itu, tetangga Bu Imah cuma mesem-mesem. Dia berusaha meredakan kecemasan hati sobatnya. Sebab tetangga Bu Imah itu tahu, bahwa suami temannya itu orang baik-baik. Rajin ke masjid dan aktif pada setiap kegiatan RT, serta masih aktif memimpin sebuah majelis taklim di lingkungan tempat tinggalnya. Setahu dia juga, bahwa suami Bu Imah adalah tipikal orang yang perhatian dan sayang pada keluarganya. Jadi dia masih berbaik sangka, suami temannya bukan sumber masalah. Tapi yang musti ditelusuri penyebab perubahan sikap suami Bu Imah, malah harusnya digali dari temannya itu sendiri. Bukan mencari-cari akar masalahnya dari si suami.

“Cobalah jeng Imah, introspeksi dulu ke dalam. Mungkin ada sikap-sikap atau perilaku jeng yang kurang disenangi suami, tapi jeng Imah masih sering melakukannya,” nasihat tetangga Bu Imah setelah dia menceritakan kejadian hampir mirip yang pernah menimpa dirinya. Tapi gelombang cobaan itu akhirnya bisa dia atasi, yakni dengan cara dia membenahi dirinya, serta berusaha berkomunikasi secara baik dengan suaminya.

Penggal kisah di atas mungkin pernah atau mirip dengan pengalaman yang sedang kita alami saat ini. Jika terjadi demikian, sebaiknya kita jangan gegabah memvonis kesalahan semata-mata ada di pihak pasangan kita. Nasehat teman Bu Imah bisa jadi benar dan dapat kita contoh sebagai solusi pemecahannya.

Tak jarang para ibu muda abai terhadap hal-hal yang mungkin mereka anggap sepele. Tapi hal-hal sepele itu sebetulnya tidak atau kurang disukai suami. Misalnya meletakkan baju kotor secara sembrono, membiarkan piring-piring atau alat-alat dapur bekas pakai menumpuk di meja, saat suami pulang kerja. Atau barangkali letak kursi di ruang tamu yang semrawut tak tertata, dan lantai dibiarkan kotor. Pemandangan-pemandangan seperti ini, bila kerap terjadi di dalam rumah dan disaksikan oleh orang yang baru pulang bekerja, bisa jadi membuatnya jengkel. Orang yang letih akan tambah letih bila melihat pemandangan yang kurang berkenan di hatinya.

Celakanya, bila keadaan seperti itu diingatkan oleh suami, tak jarang si isteri menjawab ketus. “Maklum lah mas, namanya juga banyak anak. Apalagi gak ada pembantu. Mas gak ngerasain sih, aku ini udah capek banget mas, jadi gak ada waktu lah ngurusi masalah tetek-bengek kayak gitu.” Begitu kurang-lebih jawaban apologi yang kerap terlontar dari kebanyakan ibu muda.

Tentu saja sikap ini tidak kondusif untuk menumbuhkan cinta dan kemesraan hubungan pasangan suami isteri (pasutri). Isteri khususnya, bila kerepotan untuk menangani atau berbenah di rumah, seharusnya menjelaskan kepada suaminya secara baik-baik. Misalnya dia menjelaskan, bahwa saat ini beban kerjanya bertambah, dan mungkin ada baiknya bila mengambil seorang pembantu rumah tangga. Keterus-terangan ini akan lebih baik bila disampaikan isteri kepada si suaminya. Sehingga tidak terjadi saling salah pengertian. Si suami misalnya, menganggap isteri malas atau kurang peduli dengan kebersihan dan kerapihan rumah. Sementara isteri menilai suami terlalu egois, tidak pernah merasakan betapa capeknya berkutet di dalam rumah seharian, menghadapi berbagai macam pekerjaan dan permasalahan rumah tangga.

Keterusterangan masing-masing pasutri, memang diperlukan dalam kehidupan berumah-tangga. Agar kehangatan hubungan pasutri tidak lekas pudar. Di samping tentunya, penting tetap menjaga sikap tidak mudah tersinggung ketika mendapat masukan atau teguran dari salah satu pasangan kita. Dengan kata lain, masing-masing pasangan hendaknya saling menghormati dan sebaiknya berkata santun tatkala mengekspresikan ketidakpuasannya. Ketidakenakan di hati atas kondisi yang terjadi di rumah, tidak perlu dengan reaksi marah atau disikapi dengan muka cemberut. Biasakanlah menggunakan bahasa yang santun dan sejuk terhadap pasangan kita. Bukan hanya ketika dalam suasana puas, tapi juga dalam suasana rumit dan tegang sekalipun.

Satu hal yang barangkali bisa kita jadikan bahan introspeksi. Kita misalnya, sering bisa menahan emosi dan hormat pada orang lain. Atau berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Tapi kenapa kita begitu mudah dan ringannya meremehkan dan menyinggung perasaan pasangan kita? Itupun sering kita lakukan seakan-akan tanpa beban, tanpa perasaan bersalah (guilty feeling). Sehingga kita melakukannya berulang-ulang.

Boleh jadi selama ini mungkin kita selalu memposisikan diri sebagai lawan bukan mitra terhadap pasangan kita. Atau mungkin saja sadar atau tidak, kita selalu menyikapi pasangan kita sebagai kompetitor yang harus dilawan. Ini barangkali salah satu penyebab, kenapa kita selalu out of control ketika mengeluarkan uneg-uneg hati kita. Sehingga tak jarang kata-kata itu terdengar ketus atau pedas. Dan celakanya kata-kata pedas itu kemudian saling berbalas.

Karena itu, alangkah baiknya bila mulai saat ini kita membenahi kembali posisi kita. Bahwa kita harus selalu memposisikan diri sebagai saudara, orangtua, mitra sekaligus teman bagi seluruh anggota keluarga. Sehingga kita akan bisa lebih banyak maklum dan menghormati pasangan kita. Kita akan bisa lebih terbuka dan toleran, serta berupaya menjaga perasaan pasangan kita. Mudah-mudahan dengan begitu umur kemesraan kita bisa tahan lama dan awet, insya Allah.

Antara Mata dan Hati


Mata adalah penuntun, dan hati adalah pendorong dan penuntut. Mata memiliki kenikmatan pandangan dan hati memiliki kenikmatan pencapaian. Keduanya merupakan sekutu yang mesra dalam setiap tindakan dan amal perbuatan manusia, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain.

Ketika seseorang memiliki niat untuk melakukan sesuatu yang muncul dari dalam hati, maka dia memerlukan mata sebagai penuntunnya. Untuk melihat, mengamati, dan kemudian otak ikut bekerja untuk mengambil keputusan.

Bila seseorang memiliki niat untuk melakukan amal yang baik, maka mata menuntunnya kearah yang baik pula. Dan bila seseorang berniat melakukan suatu perbuatan yang tidak baik, maka mata akan menuntunnya kearah yang tidak baik pula.

Sebaliknya bisa pula terjadi, ketika mata melihat sesuatu yang menarik, lalu melahirkan niatan untuk memperoleh kenikmatan dari hal yang dilihatnya, maka hati akan mendorong mata untuk menjelajah lebih jauh lagi, agar dia memperoleh kepuasan dalam memandangnya. Sehingga Allah SWT memberikan kepada kita semua rambu-rambu yang sangat antisipatif, yaitu perintah untuk menundukkan pandangan: "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." (QS. An Nuur: 30-31)

Demikianlah hal yang terjadi, sehingga ketika manusia terpuruk dalam kesesatan, maka terjadilah dialog antara mata dan hati, seperti yang dituturkan oleh seorang ulama besar Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dalam bukunya "Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu".

Hati berkata kepada Mata

Kaulah yang telah menyeretku kepada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saat saja. Kau lemparkan kerlingan matamu ke taman itu, kau mencari kesembuhan dari kebun yang tidak sehat, kau salahi firman Allah, "Hendaklah mereka menahan pandangannya", kau salahi sabda Rasulullah Saw, "Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah Azza wa Jalla, maka Allah akan memberi balasan iman kepadanya, yang akan didapati kelezatannya di dalam hatinya". (H.R. Ahmad)

Sanggahan Mata terhadap Hati

Kau zhalimi aku sejak awal hingga akhir. Kau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan penuntun yang menunjukkan jalan kepadamu. Engkau adalah raja yang ditaati. Sedangkan kami hanyalah rakyat dan pengikut. Untuk memenuhi kebutuhanmu, kau naikkan aku ke atas kuda yang binal, disertai ancaman dan peringatan. Jika kau suruh aku untuk menutup pintuku dan menjulurkan hijabku, dengan senang hati akan kuturuti perintah itu. Jika engkau memaksakan diri untuk menggembala di kebun yang dipagari dan engkau mengirimku untuk berburu di tempat yang dipasangi jebakan, tentu engkau akan menjadi tawanan yang sebelumnya engkau adalah seorang pemimpin, engkau menjadi buidak yang sebelumnya engkau adalah tuan. Yang demikian itu karena pemimpin manusia dan hakim yang paling adil, Rasulullah Saw, telah membuat keputusan bagiku atas dirimu, dengan bersabda: "Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula, dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati." (H.R. Bukhori Muslim dan lainnya).

Abu Hurairah Ra. Berkata, "Hati adalah raja dan seluruh anggota tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik, maka baik pula pasukannya. Jika raja buruk, buruk pula pasukannya". Jika engkau dianugerahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya para pengikutmu adalah karena kerusakan dirimu, dan kebaikan mereka adalah karena kebaikanmu. Jika engkau rusak, rusak pula para pengikutmu. Lalu engkau lemparkan kesalahanmu kepada mata yang tak berdaya. Sumber bencana yang menimpamu adalah karena engkau tidak memiliki cinta kepada Allah, tidak menyukai dzikir kepada-Nya, tidak menyukai firman, ‘asma dan sifat-sifat-Nya. Engkau beralih kepada yang lain dan berpaling dari-Nya. Engkau berganti mencintai selain-Nya.

Demikianlah, mata dan hati, sepasang sekutu yang sangat serasi. Bila mata digunakan dengan baik, dan hati dikendalikan dengan keimanan kepada Allah SWT, maka kerusakan dan kemungkaran dimuka bumi ini tak akan terjadi. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka kerusakan dan bala bencanalah yang senantiasa menyapa kita.

Robb, bimbinglah kami, agar kami mampu mengendalikan hati kami dengan keimanan kepada-Mu, mengutamakan cinta kepada-Mu, dan tidak pernah berpaling dari-Mu.

Allaahumma ‘aafinii fii badanii, Allaahumma ‘aafiniifii sam’ii, Allaahumma ‘aafinii fii bashorii. Aamiin.

Ya Allah, sehatkanlah badanku, sehatkanlah pendengaranku, sehatkanlah penglihatanku

Sandal Jepit Isteriku


Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh... betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan.

"Ummi... Ummi, kapan kau dapat memasak dengan benar...? Selalu saja, kalau tak keasinan... kemanisan, kalau tak keaseman... ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.

"Sabar bi..., rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul...? " ucap isteriku kalem. "Iya... tapi abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini...!" Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.

Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput?jumput harapan untuk menemukan 'baiti jannati' di rumahku. Namun apa yang terjadi...? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian... ouw... berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.

"Ummi...ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini...?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi... isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah...?" Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu.

"Ah...wanita gampang sekali untuk menangis...," batinku berkata dalam hati. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat...? Isteri shalihat itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya.

"Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi isak tangis.

"Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.

"Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku. "Aduh, Mi... abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku. "Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku.

"Lho, kok bilang gitu...?" "Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak? Desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi. "Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.

Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu.

Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh.

"Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" Tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. "Maafkan aku Maryam," pinta hatiku. "Krek...," suara pintu terdengar dibuka.

Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar.

Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidahku!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.

Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya." Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku...? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!!

"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. "Abi...!" bisiknya pelan dan girang.

Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. "Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah, jazakallahu...,"ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan 'iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku...?

Menjadi Istri yang Selalu Dicintai Suami


Kebanyakan istri beranggapan bahwa mereka berhak atas cinta suaminya. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, karena memang salah satu pilar tegaknya sebuah rumah tangga bahagia adalah adanya mawaddah (cinta) antara suami istri. Tetapi patut direnungkan, bahwa cinta tidak datang dengan sendirinya, dan ketika ia hadir, tidak ada yang dapat menjamin ia akan menetap selamanya. Apa artinya ini? Ya, artinya adalah bahwa cinta memerlukan usaha! Jika ingin suami selalu cinta kepada Anda, Anda tidak boleh hanya diam dan berkata, "lho, dia kan suami saya, otomatis dia mencintai saya dong! Kalau tidak, ngapain dia memilih saya untuk jadi istrinya?"

Bahwa suami mencintai Anda karena Anda adalah istrinya memang betul, tetapi apakah Anda yakin cintanya selalu ada dan terus ada selamanya? Banyak perempuan yang tidak merasa yakin, setelah menjalani kehidupan rumah tangganya sekian tahun, apakah suami saya masih mencintai saya seperti dulu? Karena itu, berhentilah bersikap pragmatis, berusahalah membuat suami Anda selalu cinta, bahkan dari hari ke hari semakin bertambah cinta kepada Anda!

Sebelum membicarakan cara membuat suami selalu cinta, ada satu hal yang menjadi inti persoalan dan tidak boleh dilupakan, yaitu bahwa cinta adalah anugerah yang diberikan Allah kepada hamba-hambaNya, dan inilah yang disebut cinta yang hakiki atau cinta sejati. Allah-lah pemilik cinta, Allah-lah yang menjadikan cinta antara suami-istri. "Dan diantara ayat-ayatNya adalah diciptakanNya untukmu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (QS Ar-Ruum:21).

Karena itu, diatas segala-galanya, seorang istri yang ingin selalu dicintai suaminya hendaknya menyadari bahwa jurus yang paling penting dan efektif untuk meraih itu adalah dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bagaimana caranya? Yaitu dengan berusaha sekuat tenaga untuk mentaati dan menjalankan perintahNya serta menjauhi laranganNya. Dengan kata lain, dengan cara berusaha menjadi seorang muslimah shalihah. Harm bin Hayyan, seorang ulama di masa Khalifah Umar bin Khattab ra berkata, "Tiada seorang hamba yang mendekatkan dirinya kepada Allah SWT, melainkan Allah akan mendekatkan hati orang-orang mukmin kepadanya, dan istri yang senantiasa mendekatkan dirinya kepada Allah, maka Allah akan mendekatkan hati suaminya kepadanya sampai ia mendapatkan cintanya."

Enam Saran Agar Suami Selalu Cinta

Berusaha dengan tulus dan ikhlas 'menyerahkan hidupnya' untuk berbakti kepada suami sambil berharap pahala Allah. Potensi yang dimilikinya, kedudukannya di masyarakat dan kesibukannya beraktivitas diluar rumah tidak membuat dirinya terlena dan lupa bahwa ia memiliki peluang meraih syurga Allah dengan berbakti kepada suaminya. "Apabila seorang perempuan menunaikan shalat, puasa, memelihara kemaluannya dan berbakti, mentaati suaminya, dia akan masuk syurga." (HR al-Bazzar). Istri seperti ini memiliki nilai yang tinggi di mata suaminya dan akan selalu dicintai suaminya.

Berusaha untuk menjadi perempuan yang bersahaja dalam nafkah. Tidak banyak menuntut, menerima dengan rasa syukur betapapun sedikitnya pemberian suami, dan tidak berlebihan dalam membelanjakan nafkah yang diberikan suami. Bila Anda sanggup selalu bersikap seperti ini, cinta suami akan selalu tercurah untuk Anda.

Sederhana dalam penampilan. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa umumnya laki-laki tidak menyukai perempuan yang berpenampilan seronok dengan wajah penuh riasan tebal, sebaliknya kesederhanaan lebih menarik bagi mereka karena menurut mereka lebih memancarkan kecantikan perempuan. Tetapi ini tentu saja relatif, karena itu, kenali kecenderungan suami Anda, apakah ia menyukai penampilan yang wah atau yang sederhana? Kemudian setiap bersamanya, sesuaikan penampilan Anda dengan kecenderungannya itu. "Sebaik-baik perempuan adalah yang menyenangkanmu bila engkau memandangnya, mentaatimu bila engkau perintahkan dan menjaga dirinya dan hartamu bila engkau tidak di rumah" (HR Thabrani).

Berusaha untuk selalu sabar dan tidak menyakiti hati suami. Adanya perselisihan atau perbedaan pendapat diantara suami istri terkadang dapat memicu terjadinya pertengkaran kecil atau besar. Bila Anda menghadapi keadaan ini, ingatlah, Anda sedang berhadapan dengan seseorang yang Allah berikan kepadanya hak yang sangat besar atas diri Anda. "Seorang perempuan belum dianggap menunaikan hak Tuhannya sehingga ia menunaikan hak suaminya." (HR Ibnu Majah).

Karena itu apapun yang bergejolak dihati Anda, berusahalah untuk tetap sabar dan menahan diri untuk tidak menyakiti hati suami Anda. "Tidaklah seorang perempuan menyakiti hati suaminya di dunia, melainkan bidadari calon istrinya (di akhirat) berkata, "Janganlah engkau sakiti dia, Allah membencimu. Sesungguhnya dia disisimu hanya sementara waktu, dan akan berpisah darimu untuk berkumpul dengan kami." (HR Ahmad).

Percayalah, istri yang mampu bersikap seperti ini akan selalu dicintai suaminya.

Dapat mendampingi suami dalam suka dan duka. Roda kehidupan selalu berputar, kadang manusia mengalami saat-saat yang menggembirakan dimana kehidupan berjalan sesuai dengan harapan. Adakalanya manusia mengalami hal yang sebaliknya. Nah, apapun keadaan yang dialami suami Anda, berusahalah menjadi pendampingnya yang setia. Disaat suka menjadi pengingat agar suami tidak terlena, disaat duka menjadi pelipur lara.

Berusaha untuk menjadi partner yang menyenangkan di kamar tidur. Banyak perempuan masih merasa malu untuk bersikap agresif meski kepada suaminya sendiri. Ini karena adanya anggapan bahwa perempuan yang agresif terkesan murahan dan tidak terhormat. Tentu saja anggapan ini tidak berlaku untuk seorang istri yang agresif kepada suaminya sendiri. Belajarlah cara dan teknik menyenangkan suami di tempat tidur dan Anda akan mendapati suami selalu melimpahkan cintanya untuk Anda!

Selamat mencoba!

SCHOLARS BIOGRAPHIES 1 \Shaykh al-Islaam Ibn Taymiyyah


Shaykh al-Islaam Ibn Taymiyyah

All praise is for Allaah Lord of the worlds. Peace and blessings be upon Muhammad (sal-Allaahu `alayhe wa sallam), his pure family, his companions and all those who strive to follow in their footsteps till the last day. To preceed :

Many people today accuse some of the greatest scholars of Islaam of blasphemy and kufr (disbelief). One who is frequently attacked is Shaykh al-Islaam Ibn Taymiyyah - rahima-hullaah -. In actual fact he is slandered and lied against. People say things about him which he never said... in actual fact things which he was totally against!! These people who do should fear Allaah, and remember that they should be just and judge a man with justice and from knowledge, rather than judging him from ignorance and heresay ! subhaan-Allaah, Ibn Taymiyyah used to strive for the upliftment of the sunnah, and for the defence of this deen from those who in ignorance are changing it. And it was he who led the people to fight the tyrant tartars and it was he who suffered the darkness of the jails of Egypt so that Islaam can be lifted, and it was he who used to pray to Allaah to guide those who are misguided. Therefore let there be a warning to those who blemish his name - a severe warning indeed- that they may not slander him, for a scholar's flesh is poisonous.

Many people accuse Ibn Taymiyyah of Likening Allaah to the creation.....this a big lie and slander...and these people should fear Allaah, and take account of the evil their tongues utter before its too late. Inshaa.-Allaah below are some quotes from the writings of the noble Shaykh which clarifies his position beyond doubt on this issue. And those who after reading this still utter salnder and lies agianst the Shaykh, then all that can be said about them is that they have an illness in their hearts, and we pray to Allaah that He cures them of this disease.

In "al-'Aqeedatul Waasitiyaah " Ibn Taymiyyah - rahima-hullaah - says:
"from faith (eemaan) is acceptance (eemaan) of what Allaah has ascribed Himself in the scripture as well as what the messenger r ascribed to Him. [This creed] prevents any attempts at altering the sacred texts (tahreef), and rules out stripping Allaah of his tributes (ta'teel) or asking questions), concerining their modality ( takyeef..ie ..ascribing a "howness", or attempting to understand them analogicaly (tamtheel). Indeed [the ahlus-sunnah] hold that:

There is nothing like unto Him (Allaah); [that] He is the All-Hearing and All-Seeing One (Qur.aan 42:11).

They do not negate what Allaah has attributed Himself, nor do they alter the meaning of His words on these matters, nor subscribe to heretical notions regarding the divine names (asmaa') and manifestations (aayaat). They do NOT (!!!) seek to explain His attributes (sifaat) or COMPARE THEM with those of HIS CREATURES, for He (Allaah) has no namesake (samiy), no equal, no peer (nidd) and, therefore, He, the One free of all imperfections and Most High, does NOT befit of being compared to His creatures."

Ibn Taymiyyah says in at-Tadmuriyyah (p20):
"It is a must to affirm that which Allaah affirms for himself , whilst NEGATING ANY likeness to Him to His craetion..... whoever says His Knowledge is like my knowledge, His Power like my power, or Love like my love, or Pleasure like my pleasure, or Hand like my hand, or istawaa (ascending) like my ascending-- then he has resembled and likened Allaah to His creation. Rather, it is must to affirm (Allaah's Attributes) without any resemblance, and to negate (what Allaah negates for Himself), without ta'teel (divesting Allaah of any of His affirmed Attributes)."

Ibn Taymiyyah wrote in Majmoo-al Fatawaa (5/262):
"Whosoever considers the Attributes of Allaah to be like the attributes of creation- such that the Istawa (Ascending) of Allaah is like the ascending of the creation, or His nuzool (descending) is like the descending of the creation, or other than that-- then he is a DEVIATED INNOVATOR."

So people please read and pay heed to the words of the noble scholar !!!!

This is enough proof for those that are just and who are sincerely seeking the truth ...and Allaah knows best.

Taqi.ud-deen Abul-'Abbaas Ahmad Ibn 'Abdul-Haleem Ibn 'Abdus-Salaam Ibn Taymiyyah al-Harraanee al-Hanbalee, was born on Monday the 10th of Rabi' al-Awwal 66l A.H./22nd of January 1263 C.E. at Harraan (northern Iraq) into a well known family of "mutakallimoon"(theologian
s). His grandfather, Abu al-Barkat Majd-ud-deen ibn Taymiyyah (d.653 A.H./1255 C.E.) was a reputed teacher of the Hanbaleete school and his "Muntaqa al-Akhbaar (selections of prophetic sayings) which classifies such Ahaadeeth upon which Islaamic legislation is based, is even today regarded as a very valuable work. Likewise, the scholarly achievements of Ibn Taymiyyah's father, Shihaabuddeen 'Abdul-Haleem Ibn Taymiyyah (d.682 A.H./1284 C.E.) were wide spread.

This was the time when the Tataar hordes under Hulagu Khaan were inflicting their barbaric onslaught throughout the world of Islaam - especially the mesopotamium region. Ibn Taymiyyah was only seven when the Tataars launched their attack on Harraan. Consequently, the populace left Harraan to seek refuge elsewhere. Ibn Taymiyyah's family proceeded to Damascus in 667 A.H./1268 C.E. which was then ruled by the Mamlooks of Egypt. It was here that his father delivered sermons from the pulpit of the Umayyad Mosque and was invited to teach Hadeeth in the mosque as well as in the Daarul-Hadeeth 'Assaakuriyyah in Damascus. These discourses were attended by a large number of students as well as by the scholars. Damascus was the center of Islaamic studies at that time, and Ahmad Ibn Taymiyyah followed in the footsteps of his father who was a scholar of Islaamic studies by studying with the great scholars of his time, among them a woman scholar by the name Zaynab bint Makkee who taught him hadeeth.

Education
From his early childhood, Ibn Taymiyyah was an industrious student. He fully acquainted himself with all the secular and religious sciences of his time. He devoted special attention to Arabic literature and gained mastery over grammar and lexicography. Not only did he become an expert on the great Arab grammarian Seebawayh's al-Kitaab which is regarded as the greatest authority on grammar and syntax, but he also pointed out the errors therein. He commanded knowledge of all the prose and poetry then available. Furthermore, he studied the history of both pre Islaamic Arabia and that of the post-Islaamic period. Finally, he learnt mathematics and calligraphy.

As for the religions sciences, Ibn Taymiyyah studied the Qur.aan, Hadeeth and Sharee'ah. He learnt the Hanbalee fiqh (law) from his own father and then became a distinguished representative of the Hanbalee school of law. He is reported to have acquired his knowledge on Hadeeth in Syria like Ibn 'Abduddayaam. Another of his teachers was Shamsuddeen 'Abdurrahmaan al-Maqdisee (d.682 A.H./1283 C.E.).Thus Ibn Taymiyyah received a thorough grounding in the Sihaah Sittah and the Musnad of Imaam Ahmad.

Ibn Taymiyyah had great love for tafseer (Qur.aanic exegesis). He read over a hundred commentaries of the Qur.aan.

He completed his studies when he was a teenager and at age 19 he became a professor of Islaamic studies. Well versed in Qur.aanic studies, Hadeeth, fiqh, theology, Arabic grammar and scholastic theology, etc., he started giving fatwas on religious legal matters without following any of the traditional legal schools, the Hanafee, Maalikee, Shaafi'ee and Hanbalee. He defended the sound prophetic traditions by arguments which, although taken from the Qur.aan and the Sunnah, had hitherto been unfamiliar to people of his time. The freedom of his polemics made him many enemies among the scholars of the traditional Orthodox Schools, who falsely accused him, of all kinds of heretical beliefs. Among them was the famous Muslim medieval traveler, Ibn Batutah, who visited Damascus while Ibn Taymiyyah was in jail. This did not hinder Ibn Batutah in testifying in his book that "he witnessed Ibn Taymiyyah on the pulpit saying, 'every night Allaah descends to the lower heaven like my descent', and he descended one step down the pulpit". From reading this 'aqeedah we learn that Ibn Taymiyyah accepted the attributes of Allaah without questioning (bi-laa kayfa).

When Ibn Taymiyyah lost his father in 682 A.H./1283 C.E. at the age of twenty two, he succeeded at the 'Assaakuriyyah. He began to teach "Tafseer" at the Umayyad mosque and in 695 A.H./1296 C.E. he began to teach at the Hanbaleeyyah in Damascus. Soon he became prominent among the leading scholars of Syria and also became immensely popular with the masses.

The Mongol Threat
In the meanwhile, Iraq, Iran, and Khuraasaan continued to smother under the cruel domination of the Tataars. The Mamlooks who were ruling over Egypt, Syria and the Hijaaz (Arabian peninsula) attempted several times to capture Iraq but failed each time. When it was learnt that the Tataars were planning to conquer Damascus, the Mamlook Sultaan, al-Maalik an-Naasir Muhammad bin Qalawoon left Egypt with a powerful army to check the advance of the Tataars.

The two forces met in a bloody battle in 699 A.H./1299 C.E. but the Sultaan was defeated and he returned to Egypt. Now Damascus lay open before the Tataar forces led by Ghazzaan, also known as Mahmood, the great grandson of Ghengis Khaan. Consequently, all the nobles including the religions scholars, judges, administrators and traders fled from Damascus where total chaos and anarchy held sway in the face of the Tataar invasion.

At this critical moment Ibn Taymiyyah and their remaining notables decided to lead a delegation to meet Ghazzaan and pursue for peace of the city. Accordingly, the delegation led by Ibn Taymiyyah met Ghazzaan at Nabak (near Damascus) and he agreed to grant amnesty to the people of Damascus.

News of the Tataar army advancing towards Syria again reached Damascus in 702 A.H./1303 C.E. Delay in the arrival of Sultaan Qalawoon from Egypt caused panic among the people, many of whom began to abandon their homes for safer places. When Ibn Taymiyyah saw this, he began to urge the people to defend themselves and their city, thereby arresting the exodus. He also went personally to appeal to the Sultaan to speed up his journey to Damascus.

At last the Muslim forces of Egypt and Syria encountered the Tataar forces at Thaqab during Ramadhaan 702 A.H./1303 C.E. and after a bloody conflict the Muslims defeated and dispersed the Tataar armies.

Jihaad Against Heretics
Ibn Taymiyyah's fight was not limited to the Soofees and the people who followed the heretical innovations; in addition, he fought against the Tataars who attacked the Muslim world and almost reached Damascus. The people of Syria sent him to Egypt to urge the Mamlook Sultaan, the Sultaan of Egypt and Syria to lead his troops to Syria to save it from the invading Tataars. When he realized that the Sultaan was hesitant to do what he asked of him, he threatened the Sultaan by saying: "If you turn your back on Syria we will appoint a Sultaan over it who can defend it and enjoy it at the time of peace". He was present at the battle of Shaqhab near Damascus against the Tataars which took place during the fasting month of Ramadhaan and gave a fatwa to the army to break their fast in order to help them against their enemy, as the Prophet Muhammad (sal-Allaahu `alayhe wa sallam) did during the battle of the liberation of Makkah. The Muslims won the battle against the Tataars and drove them away from Damascus and all Syria. Ibn Taymiyyah's courage was expressed when he went with a delegation of 'ulamaa. to talk to Qazan the Khan of the Tataars to stop his attack on the Muslims. Not one of the 'ulamaa. dared to say anything to him except Ibn Taymiyyah who said: "You claim that you are Muslim and you have with you mu'adhdhins, judges, Imam and Shaykh but you invaded us and reached our country for what? While your father and your grandfather, Hulago, were non-believers, they did not attack the land of Islaam, rather, they promised not to attack and they kept their promise. But you promised and broke your promise."

Once the Tataar threat was eliminated, Ibn Taymiyyah again devoted himself to his mission of his intellectual pursuit and teaching. At the same time, he continued to wage Jihaad against the heretical sects like the Baatinites, Ismaa.eelites, Haakimites and Nusayrites living in the hilly tracts of Syria who had invited the Crusaders and the Tataars to invade the Muslim lands, helped these invaders against the Muslims and looted and plundered the weak and defenceless population. Ibn Taymiyyah personally led expeditions against these sects.

Religious Condition Of The Muslims
Apart from the external threats mentioned above, Islaam was also confronted at this time with internal dangers. There were Baatinites (an extremist Sheeite sect which confronted the Muslim Government at that time) and their followers, the Assassins (Hasheeshiyoon). Their creed was a mixture of Magian dogma and Platonic concepts which could easily sow the seeds of intellectual dissension and spread irreligousness and apostasy among the simple minded people. Then there were Muslims who, under the influence of the polytheistic beliefs and customs of the non-Muslims with whom they had free associations, began to glorify their saints (highly pious Soofee personalities - Walee-Allaah) as the Jews and the Christians were doing. Further more, some Soofee's orders like the Rifaa'iyyah had adopted certain neo-Platonic and Hindu doctrines which became so confused with the true Islaamic beliefs that it became almost impossible to distinguish one from the other.

In the wake of crusaders, some Christians were emboldened to censure Islaam and criticise the Prophet in their speeches and writings. In the intellectual circles of the Muslims there was stagnation and rigidity in their theological disputations and in their approach to the re-interpretation of the Sharee'ah. There was continuous polemical wranglings between the 'Asharites and Hanbaleeites. Finally, some of the philosophers, influenced by the theories of Plato and Aristotle, began to spread their agnostic ideas and concepts in total disregard to the teachings of Islaam.

These were the conditions pertaining to the time of Ibn Taymiyyah and which he had to contend. Ibn Taymiyyah formed a society along with his students and followers to renounce the polytheistic cults, un-Islaamic cults, un-Islaamic influences and heretical beliefs and practices among the Muslim masses. As a result of his enthusiastic and zealous reformative activities and condemnation of heresies, un-Islaamic innovation and practices at the visitation of graves of saints, he earned the displeasure of certain sectors of the population. Nonetheless, his popularity among the Muslim masses increased tremendously.

All this jihad against the enemies of Islaam did not help Ibn Taymiyyah with the 'ulamaa.. The authorities put him in jail many times until he died in jail because of his daring and free progressive opinions on many legal and social issues which angered his opponents, the followers of the Orthodox Schools of law.

However when Ibn Taymiyyah had the chance to punish his opponents among the 'ulamaa. who caused him all kinds of trouble and put him in jail many times, he showed the utmost of magnanimity and forgave them when the Sultaan an-Naasir Qalawoon gave him the chance to do so. He said: "If you kill them you will never find 'ulamaa. like them." The Sultaan said: "They harmed you many times and wanted to kill you!" Ibn Taymiyyah said: "Whoever harmed me is absolved, and who harmed the cause of Allaah and His Messenger, Allaah will punish him."

The Muslim historians, like adh-Dhahabee, Ibn Katheer, Ibn al-'Imad al-Hanbalee and many others praised Ibn Taymiyyah and considered him one of the greatest scholars of Islaam of all time.

He fought heretical innovations in religion which were wide spread during his time all over the Muslim world, especially certain acts and beliefs of some Soofee orders, like saint worship and visiting saints' tombs, and throwing themselves in the fire. His attack on the Soofees caused him a lot of trouble with the authorities whose leaders were under the influence of certain soofee leaders.

As a result of Ibn Taymiyyah's popularity, some influential religions scholars became jealous of him and even annoyed because he challenged the Qaadhee's on juridical matters. They therefore sought ways and means to discredit him in the eyes of the Government and the people. Ibn Taymiyyah rejected the teachings expounded in the al-Futuhaat al-Makkah ("the Makkan Revelations") and Fusoos al-Hakeem ("The Mosaic of Wisdom") of Shaykh Muheeuddeen ibn al-'Arabee (d.638 A.H./1240 C.E.) the most respected Soofee and teacher of tasawwuf - as incompatible with the teachings of the Qur.aan and the Sunnah, thereby earning the wrath of the Soofee's, and by being outspoken on Government policies, he earned the hostility of the government. Consequently he was summoned to Egypt in 705 A.H./1305 C.E.

When Ibn Taymiyyah arrived in Egypt, he was asked to attend a meeting of theologians, jurists and the chiefs of the state. During the session certain charges were levelled against him relating to his concepts of the nature and attributes of Allaah. He was not allowed to defend himself and was promptly imprisoned for about 16 months. While in prison, he diverted the attention of his followers from indulgence in frolics and amusements to a sense of piety, discipline and temperance. A number of prisoners became his devoted disciples on their release.

After Ibn Taymiyyah was released from prison in 707 A.H./1307 C.E. he decided to remain in Egypt for a while. Soon he began to deliver lectures in various Mosques and educational institutions before select gatherings of scholars, jurists and theologians. However, Ibn Taymiyyah's views on pantheistic monoism, intercession, etc were not received kindly and numerous complaints were made against him to the Sultaan. The religions scholars to whom the complaints were referred could not find any fault with Ibn Taymiyyah. However, as the administration was growing weary of the charges brought against him, he was detained for a while but was soon released on the unanimous request of the religions scholars. But when Sultaan Qalawoon abdicated in favour of his viceroy Baybaan al-Jashnikeer in 709 A.H./1309 C.E., Ibn Taymiyyah was exiled to Alexandria where, inspite of his internment, he earned himself a respectable position in the Academic and literary circles. Soon though Baybaan abdicated and Sultaan Qalawoon returned to Egypt and ordered Ibn Taymiyyah.

Return To Damascus
In Cairo, Ibn Taymiyyah had busied himself in his teachings and reformative activities for about 3 years. At the same time, he acted as adviser to the Sultaan and was instrumental in having several important reforms introduced in Egypt and Syria. Several royal edicts were issued on his advice in 712 A.H./1312 C.E. He visited Jerusalem in the same year, then went for Hajj (pilgrimage) and eventually returned to Damascus in 713 A.H./1313 C.E. From now onward he devoted his attention primarily to juristic problems though he continued teaching. His chief disciple was ibn Qayyim al-Jawziyyah (d.751 A.H./1350 C.E.) who was chiefly responsible for spreading his ideas.

The Question Of Three Talaaq's
Ibn Taymiyyah like his forefathers was a Hanbaleeite and his legal opinions conformed to that school, though not exclusively. He often rejected the Hanbaleeite view just as in some matters he expressed disagreement with all the four principal juridicial schools. One such case in which he differed with them was in regard to the repudiation of one's wife by three divorces given at one time.

The issue was whether a divorce pronounced thrice at the same time took legal effect or not. This issue raised the following considerations:

• whether revocation of such a divorce was possible or not.
• whether the three sentences of divorce would be counted as one revocable pronouncement (talaaq) or taken as an irreversable separation.
• whether the wife so divorced could return to her husband or not without a halaalah (i.e until his divorced wife was married to another man who, in turn, after the consummation of the marriage, divorces).

All the earlier jurists and traditionalists, likewise a good number of the Prophet's companions were of the view that such a pronouncement, although being repugnant to the law as well as irregular and sinful, would be regarded as an implied divorce with legal effect. As against that Ibn Taymiyyah firmly held the opinion that the three sentences of divorce spoken at the same time should be regarded as one revocable divorce. The view of Ibn Taymiyyah happened to be against the official view which naturally brought him in conflict with the 'ulamaa on one hand and with the government on the other.

Consequently, the theologians tried to prevent him from expressing further legal opinion on such matters. In fact, a royal edict was issued from Cairo in 718AH/1318AD forbidding him from giving legal opinions in such cases.

Initially Ibn Taymiyyah abided by the edict but later again began giving legal judgment on this issue as he decided that it was improper for him to desist simply for fear of the government. As a result in 720 A.H./1320 C.E. he was detained in a citadel for just over five months till he was released on direct orders from Cairo.

The Final Years
Between 721 A.H./1321 C.E. and 726 A.H./1326 C.E. Ibn Taymiyyah devoted himself to teaching in the Madrasah Hanbaleeyyah and his own Madrasah Qassaaseen and revising some of his earlier works. In 726 A.H./1326 C.E. his adversaries again conspired to have him imprisoned. Here he continued writing his exegesis of the Qur.aan as well as treatises and monographs on various issues.

Ibn Taymiyyah died in jail in Damascus on the night of Sunday-Monday 20th Dhul-Qa'dah 728 A.H./26-27 September 1328 C.E. at the age of 67, and is buried in the cemetery of the Soofiyyah in Damascus.

The people of Damascus, who held him in great honor, gave him a splendid funeral and an estimated 200,000 men and 15,000 women attended his funeral. He was buried at the Soofee cemetery in Damascus where his mother was buried.

Character And Achievements
Ibn Taymiyyah occupied a highly honorable place among his contemporary religions scholars due to his prodigious memory, intellectual brilliance, encyclopedic knowledge and dauntless courage. He is described as a great orator, brave and fearless, resolute, disciplined, very pious, resigned and contended, noble and forgiving, just and ever determined.

Ibn Taymiyyah's reformative endeavors and literary pursuits cover a vast field which can be summarised as follows:
1 revival of faith in and adherence to "Tawheed"(oneness of Allaah).
2 eradication of pantheistic beliefs and customs.
3 criticism of philosophy, syllogistic logic and dialects in order to demonstrate the superiority of the Qur.aan and the sunnah.
4 extirpation of un-Islaamic beliefs through refutation of Christianity and Sheeism.
5 rejuvenation of Islaamic thought and its related sciences.

The total number of Ibn Taymiyyah's works is 621 though many of his writings have been lost. Some of Ibn Taymiyyah's writings dealing with the themes are listed below:
1 al-Jawaab as-Saheeh liman baddala Deen al-Maseeh (an answer to the criticism against Islaam by the Christians).
2 Radd 'ala al-Mantiqiyyeen (a refutation of the philosopher).
3 Kitaab as-Siyaasah ash-Shar'iyyah (deals with political theory and government in Islaam).
4 Minhaaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (a refutation of Sheeite beliefs written in response to Minhaaj al-Karanmah of Ibn al-Mutahhir al-Hillee).
5 Ziyaarah al-Quboor (a criticism of saint-workshop, intercession, superstitious beliefs).
6 Majmoo'at ar-Rasaail al-Kubra (this book contains articles on various subjects).
7 Majmoo'at al-Fataawa (a collection of opinions on various issues).
8 Majmoo'at ar-Rasaail wa al-Masaail (contains articles and legal opinions on various issues).
9 Majmoo'at Shaykh al-Islaam Ahmad ibn Taymiyyah (contains discussion on Islaamic jurisprudence and legal opinions enunciated by Ibn Taymiyyah).

Conclusion
To include in the words of Mawlaana Abu al-Hasan 'Alee Nadawee who has paid a glowing tribute to Ibn Taymiyyah as follows:
"Ibn Taymiyyah interpreted the Qur.aan and Sunnah, established the superiority of Islaam over heresy, Philosophical concepts and other faiths and contributed to a genuine revival of religion after a deep study and deliberation that was necessary for lighting the religions and intellectual waywardness of the time. Seeking to surpass his opponents he mastered the methodology employed by them to attack Islaam. In fact, his learning, his erudition, his intellectual attainment and his mental grit always left his adversaries spell bound"(*1)

Little wonder then that Ibn Taymiyyah's contemporary and succeeding scholars have acclaimed him with such complimentary remarks as "The master spirit of the age", "The crown of scholars", "Last of the Enlightened scholars", and "A sign among the signs of God".

(*1) A. H. A. NADAWEE, Saviours of Islaamic spirit, Vol. 2, Academy of Islaamic research and publications, Lucknow, India, 1974, p24.