Dalam catatan sejarah, banyak terkoleksi contoh kasus pertemanan dan kedekatan yang menjadikan seseorang sesat.
Diantara contoh kasus tersebut adalah sebagai berikut:
Abu Thalib terhalang dari Islam karena pengaruh temannya.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari (no. 3884):
“Saat menjelang kematian Abu Thalib, Rasulullah datang menjenguknya. Ternyata di sisi Abu Thalib telah ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah.
Rasulullah berkata: ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah (tiada yang berhak diibadahi dengan sebenarnya kecuali Allah, pen.), sebuah kalimat yang akan kujadikan hujjah (pembelaan) untukmu di hadapan Allah’.
Maka berkatalah Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah: ‘Apakah kamu benci terhadap agama Abdul Muththalib (agama berhala, pen.)?!’
Setiap kali Rasulullah menawarkan kalimat Laa ilaaha illallah kepada Abu Thalib, maka setiap kali pula Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah menimpalinya dengan perkataan di atas.
Hingga kata terakhir yang diucapkan Abu Thalib kepada mereka adalah: ‘(Aku) di atas agama Abdul Muththalib (menyembah berhala)’.”
Demikian pula secara lebih tegas disebutkan dalam Shahih Muslim (no. 39): “…Dia (Abu Thalib) berada di atas agama Abdul Muththalib (menyembah berhala) dan tidak mau mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata:
“Betapa bahayanya teman yang buruk terhadap seseorang. Kalau tidak ada pengaruh dari dua orang tersebut (Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah, pen.) bisa jadi Abu Thalib menerima ajakan Nabi untuk mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah dan wafat sebagai pemeluk agama Islam.”
(Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid 1/224)
Abu Dzar Al-Harawi terseret ke dalam madzhab Asy’ari karena kedekatannya dengan Al-Qadhi Abu Bakr Ath-Thayyib.
Di dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’ (17/558-559) dan Tadzkiratul Huffazh (3/1104-1105) karya Al-Imam Adz-Dzahabi disebutkan bahwa Abu Dzar Al-Harawi, seorang ulama terkemuka di masanya terseret ke dalam madzhab sesat Asy’ari, disebabkan kedekatannya dengan tokoh madzhab tersebut yang bernama Al-Qadhi Abu Bakr Ath-Thayyib.
Bermula dari pertemuan pertama di Kota Baghdad,
kemudian disusul dengan pertemuan kedua, dan demikian seterusnya.
Hingga akhirnya terseret ke dalam madzhab Asy’ari, sebagaimana yang dinyatakan Abu Dzar Al-Harawi sendiri: “Akhirnya aku mengikuti madzhabnya.”
Tidak sampai di situ, ia pun kemudian menyebarkan madzhab Asy’ari tersebut di Kota Makkah.
Al-Imam Adz-Dzahabi berkata: “Dia mendapatkan ilmu kalam dan madzhab Asy’ari dari Al-Qadhi Abu Bakr Ath-Thayyib, kemudian menyebarkannya di Kota Makkah. Orang-orang yang berasal dari negeri-negeri maghrib arabi (magharibah) menyambutnya dan membawa akidah sesat tersebut ke Negeri Maroko dan Andalusia (Spanyol). Padahal sebelumnya para ulama di beberapa negeri tersebut tidak menyukai ilmu kalam. Bahkan mereka adalah orang-orang yang mumpuni di bidang ilmu fiqh, hadits, atau bahasa Arab.”
(Siyar A’lamin Nubala’ 17/557)
‘Imran bin Hiththan menjadi khawarij karena pengaruh istrinya.
Imran bin Hiththan adalah seorang yang hidup di masa tabi’in. Dia meriwayatkan hadits dari sekelompok sahabat Nabi. Dia kesohor akan kesungguhan dalam menuntut ilmu dan hadits. Dahulunya berakidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun di akhir hayatnya terseret ke dalam akidah sesat Khawarij.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Adalah Imran bin Hiththan tergolong orang yang terkenal di kalangan madzhab Khawarij, padahal sebelumnya dia kesohor akan kesungguhan dalam menuntut ilmu dan hadits, kemudian terseret ke dalam fitnah (Khawarij).”
Ya’qub bin Syaibah berkata: “Dia berjumpa dengan sekelompok sahabat Nabi, namun di akhir hayatnya terseret ke dalam akidah Khawarij. Sebabnya adalah bahwa sepupu wanita/anak pamannya (yang bernama Hamnah, pen.) yang memiliki akidah sesat Khawarij. Dia menikahinya dengan tujuan mengembalikan sepupunya itu ke dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Akan tetapi, justru sang istrilah yang menyeretnya ke dalam akidah Khawarij.”
Hal senada juga disampaikan oleh Al-Imam Muhammad bin Sirin.
(Lihat Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, 8/108-109)
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia 1
~~~~~~~~~~