A. PENENTUAN BULAN RAMADHAN
Penentuan mulai masuknya bulan Ramadhan dilakukan dengan cara melihat bulan terbit sebagai tanda dimulainya awal bulan Hijriah, yang lebih populer disebut Ru`yatul Hilal. Apabila terhalangi oleh mendung atau semisalnya, maka caranya ialah dengan melengkapkan bilangan hari dalam bulan Sya`ban menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah :
“Bershaumlah berdasarkan ru`yatul hilal dan berhari-rayalah berdasarkan ru`yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung atau semisalnya, maka genapkanlan bilangannya menjadi 30 hari.”
Adapun hadits Abdullah bin Umar :
“…jika terhalangi, maka perkirakanlah.” Makna dari kata “perkirakanlah”, telah diterangkan oleh Rasul sendiri pada hadits yang sebelumnya, yaitu :
“Maka lengkapilah bilangannya menjadi 30 hari atau lengkapilah bilangan Sya`ban menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhkari)
Dari hadits-hadits di atas jelas sekali bahwa penentuan masuknya Ramdhan dengan Ru`yatul Hilal. Sehingga ilmu perbintangan dan ilmu hisab tidak bisa dijadikan landasan untuk menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan. Hal ini bisa ditinjau dari berbagai sisi, diantaranya :
1. Bertentangan dengan nash (dalil) dari Al Qur’an yang mengaitkan hukum shaum dengan ru’yah daan persaksian hilal. Sebagaimana firman Allah yang artinya: ”Barangsiapa yang menyaksikan syahru (hilal) Ramadhan, maka bershaunlah.” (Al Baqarah:185)
2. Bertentangan dengan Dhahir hadits-hadits yang shahih (sebagaimana hadits-hadits diatas)
3. Bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para Shahabat, Tabi’in dan para Imam setelah mereka.
4. Adanya pernyataan dari para ahli ilmu perbintangan sendiri, bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki, dan kenyataan terjadi terjadinya perbedaan di kaalangan ahli hisab sendiri dalam menentukan hilal.
B. BERPUASA DAN BER-IEDUL FITHRI BERSAMA PEMERINTAH DAN KAUM MUSLIMIN
Bulan suci Ramadhan dan Iedul Fithri/Adha merupakan syi’ar Islam yang agung. Rasulullah telah pula menegaskan tolok ukur bagi kaum Muslimin tentang waktu pelaksanaannya tersebut, yaitu dengan mengutamakan prinsip jama’ah (kebersamaan). Rasulullah bersabda:
“Ash Shaum (Ramadhan) itu pada hari kalian semua bershaum, Iedul Fithri itu pada hari kalian semua ber-Iedul Fithri dan Iedul Adha itu pada hari kalian semua ber-iedul Adha.”(HR.At Tirmidzi, lihat Ash Shahihah no. 224, karya Asy Syaikh Al Albani)
Mengedepankan kebersamaan merupakan prinsip yang selalu dijaga dan diwasiatkan pula oleh para sahabat Nabi dan juga para imam-imam setelah generasi mereka.
Al Imam Al Baihaqi meriwayatkan sebuah atsar dari ‘Aisyah , pada hari Arafah (9 Dzuhijah), Masruq datang menemui ‘Aisyah , ketika itu Masruq ragu untuk bershaum, karena pada hari itu sudah masuk hari Iedul Adha (10 Dzulhijah). Maka ‘Aisyah berkata:”An Nahr (Iedul Adha) itu adalah pada hari kaum Muslimin ber-Iedul Adha dan Iedul Fithri pada hari kaum Muslimin kaum Muslimin ber-Iedul Fithri.”Maksud dari perkataan ‘Aisyah adalah merujuk (bersandar) kepada prinsip kebersamaan bukan prinsip pribadi. (Ash Shahihah 1/442)
Al Imam Ibnul Abdil Bar menukil pendapat dua orang Tabi’in, Asy Sya’bi dan An Nakha’i. Keduanya menyatakan bahwa tidak boleh seorang pun bershaum kecuali bersama jama`ah(kaum Muslimin).
Al Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayatnya: “Shaum itu dilakukan bersama Imam dan jama’ah baik dalam keadaan (langit) itu cerah ataupun mendung.”(lihat Majmu` Fatawa 25/114-118)
Al Imam At Tirmidzi berkata: “Beberapa ulama menafsirkan makna hadits ini, yaitu bahwa penentuan shaum dan Iedul Fithri bersama dengan jama`ah atau mayoritas kaum Muslimim.”
Abdul Hasan Hasan As Sindi dalam Hasyiah Ibnu Majah – setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi – berkata: “Makna yang nampak pada konteks hadits ini; “Sesumgguhnya dalam perkara penentuan (Ramadhan, Iedul Fithri, dan Iedul Adha –pen), tidak ada pintu bagi individu untuk bicara dalam masalah ini, dan tidak boleh pula menyendiri (menyelisihi mayoritas). Bahkan perkara tersebut dikembalikan kepada Pemerintah dan jama`ah (kaum muslimin). Setiap individu muslimin berkewajiban untuk mengikuti Pemerintah dan jama’ah.” (lihat Ash Shahihah 1/442)
Ketahuilah wahai para pembaca! Asy Syaikh Al Albani adalah salah satu Ulama yang merajihkan (menguatkan) bahwa ru’yah satu negeri berlaku untuk seluruh negeri lainya, namun beliau memberikan nasehat yang sangat berharga bagi seluruh kaum Muslimin, dalam kitabnya Tamamul Minnah hal 298 - ? berkata: “Tetapi saya berpendapat bahwa seorang kaum Muslimin hendaknya mengerjakan shaum Ramadhan bersama Pemerintahnya masing-masing dan tidak mengikuti pendapatnya sendiri-sendiri. Ada yang menjalankan shaum bersama Pemerintah dan yang lainnya tidak, baik mendahului atau membelakangi, karena hal ini akan memperluas perpecahan.”
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Merupakan kewajiban kaum Muslimin untuk selalu di atas kebenaran, tidak boleh bercerai-berai didalam agama Allah. Allah berfirman (artinya): “Dia (Allah) telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama sebagaimana telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kalian bercerai-berai tentangnya.”(Asy Syura :13). Dan Allah juga berfirman (artinya): “Maka berpegang teguhlah kalian semuanya dengan tali Allah dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imron :103). Dan Allah juga berfirman (artinya): “Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah datang keterangan yang jelas pada mereka. Merreka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang pedih.”(Al Imron :105).
Sehingga wajib menyatukan kalimat (barisan) kaum Muslimin dan tidak berpecah belha di dalam agama Allah.
Penetapan waktu shaum Ramadhan adalah satu dan penetapan Iedul Fithri mereka juga adalah satu. Dengan cara mengikuti sebuah lembaga (resmi –pen) yang telah ditentukan oleh mereka –yang saya maksudkan adalah sebuah lembaga yang menaungi berbagai urusan kaum muslimin- dan janang sampai mereka berpecah-belah, meskipun mungkin berbeda dengan waktu shaum Kerajaan Saudi Arabia atau Negara-negara Islam lainnya, maka tetaplah mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh lembaga (pemerintah) tersebut. (Fatawa fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52, karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar