Mengobati Istri yang Berbuat Nusyuz
Bila terjadi problem dalam rumah tangga tidak sepantasnya pasangan suami istri langsung memutuskan perceraian, sementara permasalahan itu bisa diselesaikan dengan cara lain yang lebih baik tanpa harus memutuskan ikatan nikah. Demikian pula bila terjadi nusyuz dari pihak istri, Islam memberikan jalan untuk menyembuhkannya dengan cara yang disebutkan dalam Al Qur’an:
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuznya maka hendaklah kalian menasehati mereka, dan meninggalkan mereka di tempat tidur dan memukul mereka. Kemudian jika mereka mentaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa’: 34)
Penyembuhan istri yang nusyuz ini dilakukan dengan tahapan (Ruhul Ma‘ani, 5/25), tidak langsung memakai cara kekerasan, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abbas c: “Istri itu diberi nasehat kalau memang ia mau menerima nasehat. Kalau tidak, ia ditinggalkan di tempat tidurnya bersamaan dengan itu ia didiamkan dan tidak diajak bicara.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504)
Bila cara nasehat tidak berhasil, istri tersebut di-hajr (dijauhi) dengan tidak digauli (senggama) selama waktu tertentu hingga tercapai maksud yang diinginkan. Kalau tidak berhasil juga maka barulah ditempuh cara pukulan namun tidak boleh meninggalkan bekas. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 177)
1. Memberi nasehat dan bimbingan
Ini merupakan langkah pertama yang harus ditempuh untuk mengembalikan istri kepada ketaatannya atau menjauhkannya dari pelanggaran yang dilakukannya. Nasehat dilakukan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Ibnu Qudamah t mengatakan: “Dalam nasehat itu ia ditakut-takuti kepada Allah , diingatkan apa yang Allah wajibkan kepadanya untuk memenuhi hak suami dan keharusan mentaatinya, diperingatkan akan dosa bila menyelisihi suami dan bermaksiat padanya. Ia juga diancam akan gugur hak-haknya berupa nafkah dan pakaian bila tetap durhaka kepada suami dan ia boleh dipukul dan di-hajr oleh suami kalau tidak mau menerima nasehat.” (Al-Mughni, 7/241).
2. Al Hajr
Terkadang seorang istri tidak cukup diberi nasehat untuk menghentikannya dari nusyuz yang dilakukan sehingga harus ditempuh cara penyembuhan yang kedua, yaitu dengan hajr. Ibnu Abbas c menafsirkan hajr ini dengan tidak menggauli istri, tidak menidurinya di atas tempat tidurnya dan memunggunginya. As-Sudi, Adh-Dhahhak, ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas dalam satu riwayat menambahkan: “Bersamaan dengan itu ia mendiamkan dan tidak mengajak bicara istrinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504, Tafsir Al-Baghawi, 1/423)
3. Pukulan
Terkadang penyembuhan dan pendidikan butuh sedikit kekerasan, karena ada tipe manusia yang tidak bisa disembuhkan dari penyimpangannya kecuali dengan cara diberi kekerasan fisik. Dan termasuk penyembuhan nusyuz istri adalah dengan pukulan yang diistilahkan Al Qurthubi t dengan pukulan pendidikan (Al Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 1/113), bukan pukulan untuk tujuan menghinakan atau menyiksa. (Al Mughni, 7/242)
Disyaratkan pukulan itu tidak terlalu keras hingga mematahkan tulang atau meninggalkan bekas sebagaimana pesan Rasulullah dalam haji Wada`:
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorangpun yang kalian tidak sukai untuk menginjak permadani kalian1. Bila mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang keras. Dan hak mereka atas kalian adalah kalian harus memberikan nafkah dan pakaian untuk mereka dengan cara yang ma’ruf”. (Shahih, HR. Muslim no. 1218)
Yang dimaksud2 kata Al-Hasan Al-Bashri t yaitu pukulan yang tidak membekas (Tafsir Ibnu Katsir, 1/504). Atau pukulan yang tidak membelah daging dan mematahkan tulang. (Ruhul Ma‘ani, 5/25)
‘Atha t pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas c tentang maksud:
Ibnu ‘Abbas menjawab: “Pukulan dengan memakai siwak dan semisalnya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 1/113, Ruhul Ma`ani, 5/25)
Al-Imam An-Nawawi t setelah membawakan hadits di atas, beliau berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang suami memukul istrinya dalam rangka mendidiknya.” Beliau mensifati pukulan di sini dengan pukulan yang tidak keras dan memayahkan. (Syarah Shahih Muslim, 8/184).
Pukulan itu juga tidak ditujukan ke wajah, karena Rasulullah telah memperingatkan:
“Apabila salah seorang dari kalian memukul maka hendaklah menjauhi (jangan memukul) wajah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
Ulama mengatakan bahwa hadits ini secara jelas menunjukkan larangan memukul wajah dan masuk dalam larangan ini bila seorang suami memukul istri, anak ataupun budaknya dengan pukulan pendidikan. (Syarah Shahih Muslim, 16/165)
Apabila istri telah kembali kepada ketaatannya terhadap suami dan meninggalkan perbuatan nusyuz-nya maka “janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”, yakni janganlah kalian berbuat jahat kepada mereka baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ayat ini ada larangan untuk mendzalimi para istri. (Al-Jami` li Ahkamil Qur’an, 1/113)
Bagaimana bila Suami yang Berbuat Nusyuz?
Seorang istri diberi hak oleh Islam untuk mengobati nusyuz suaminya, namun tentunya ia tidak bisa menempuh cara hajr atau pukulan sebagaimana hak ini diberikan kepada suami, karena perbedaan tabiat wanita dengan laki-laki dan lemahnya kemampuan serta kekuatannya.
Seorang istri yang cerdas akan mampu menyabarkan dirinya guna mengembalikan suaminya sebagai suami yang baik sebagaimana sedia kala, sebagai ayah yang lembut penuh kasih sayang. Ketika mendapati nusyuz suaminya ia bisa melakukan hal-hal berikut ini:
• Mencurahkan segala upayanya untuk menyingkap rahasia dibalik nusyuz suaminya. Kenapa suamiku berbuat demikian? Apa yang terjadi dengannya? Ada apa dengan diriku?
• Menasehati suami dengan penuh santun, mengingatkannya terhadap apa yang Allah wajibkan padanya berupa keharusan membaguskan pergaulan dengan istri dan sebagainya.
• Sepantasnya bagi istri untuk selalu mencari keridhaan suaminya dan berupaya mencari jalan agar suaminya senang padanya. Maka ketika ia mendapati suaminya menjauh darinya, ia bisa melakukan bimbingan Al Qur’an berikut ini:
“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (An-Nisa’: 128)
Berkata Al-Imam Ath-Thabari t: “Istri yang khawatir suaminya berbuat nusyuz atau berpaling darinya maka dibolehkan baginya untuk mengadakan perdamaian dengan suaminya, dengan cara ia merelakan tidak dipenuhi hari gilirannya atau ia menggugurkan sebagian haknya yang semestinya dipenuhi oleh suami dalam rangka mencari simpati dan rasa ibanya, juga agar ia tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya (tidak dicerai).” (Tafsir Ath-Thabari, 5/306)
Ibnu Qudamah t berkata: “Tidak apa-apa ia (istri) merelakan sebagian haknya dalam rangka mencari ridha suaminya dan kapan saja istri mengadakan perdamaian dengan suaminya dengan cara meninggalkan sesuatu dari hak gilirannya atau nafkahnya atau kedua-duanya, maka hal ini dibolehkan.” (Al-Mughni, 7/243)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di t berkata tentang ayat di atas: “Maka yang lebih baik pada keadaaan ini, keduanya melakukan perbaikan dan perdamaian dengan cara si istri merelakan gugurnya sebagian haknya yang semestinya dipenuhi suami asalkan ia tetap hidup bersamanya (tidak dicerai), atau ia ridha diberi nafkah yang sedikit, diberi pakaian dan tempat tinggal seadanya, atau dalam hal giliran3 ia menggugurkan haknya tersebut atau dengan cara ia menghadiahkan hari dan malam gilirannya kepada madunya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 206)
Mendamaikan Sengketa antara Kedua Pihak
Allah berfirman:
“Dan bila kalian khawatir perselisihan antara keduanya maka hendaklah kalian mengutus seorang hakim (pendamai) dari keluarga si suami dan seorang hakim (pendamai) dari keluarga si istri…”. (An-Nisa’: 35)
Bila terjadi perselisihan antara suami istri dan tidak diketahui siapa yang berbuat nusyuz di antara keduanya atau malah kedua-duanya berbuat nusyuz, ketika itu ulama sepakat disyariatkannya mengirim dua orang hakim untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Dan mereka bersepakat, dua orang hakim itu harus berasal dari keluarga kedua belah pihak, satu dari pihak suami dan yang lain dari pihak istri. Namun jika tidak ada maka boleh dari selain keluarga. (Al-Mughni, 7/243, Bidayatul Mujtahid, hal. 473).
Apabila kedua pasangan ini tidak bisa didamaikan kembali maka kedua hakim tersebut berhak untuk memisahkan antara keduanya, menurut pendapat yang rajih (kuat), dan ini yang dipegangi oleh madzhab Malikiyyah, satu riwayat dari Syafi‘iyyah dan satu riwayat dari Hanabilah. (Al-Muwaththa‘ karya Al-Imam Malik, 2/584, Al-Mughni 7/243-244).
Wallahu ta‘ala a‘lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar