BERSAHUR DAN BERIFTHAR (BERBUKA) MENURUT TUNTUNAN RASULULLAH


Sahur dan ifthar merupakan dua prosesi yang cukup berarti dalam keberlangsungan shaum seorang muslim. Ia tidak hanya sekedar makan dan minum, namun justru sebagai ibadah yang membedakan umat Islam dengan Yahudi dan Nashara.


  1. TUNTUNAN RASULULLAH DALAM BERSAHUR

Perlu kita ketahui, bahwa sahur adalah sesuatu yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah . Dalam hadits Ibu Umar . Dalam hadits Ibnu Umar , Rasulullah bersabda:


Bersahurlah kalian, walaupun dengan seteguk air.” (Shahih At Targhib no. 1071 karya Asy Syaikh Al Albani)


Sahur memiliki beberapa keutamaan, diantaranya:

  1. Sahur Mengandung Barakah

Sebagaimana hadits Anas bin Malik , Rasul bersabda:


Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada makan sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaihi)

  1. Mendapat Shalawat dari Allah dan para Malaikat-Nya

Sebagaimana hadits Abu Sa’id Al Khudri :


Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur.” (HR. Ahmad, Shahih At Targhib no. 1077)

  1. Menyelesihi Ahlul Kitab

Sebagaimana hadits Amr bin Ash , Rasulullah bersabda :


Pembeda antara shaum kita dengan shaumnya Ahlul Kitab (adalah) adanya makan sahur.” (HR. Muslim)


Adab-Adab Bersahur
  1. Mengakhirkan Sahur

Mengakhirkan sahur termasuk sunnah Rasulullah . Sehingga kebiasaaan kebanyakan kaum muslimin yang bersahur jauh sebelum munculnya fajar shadiq (fajar kedua, pertanda masuknya waktu shalat shubuh) termasuk perbautan yang menyelesihi petunjuk Rasulullah . Sahabat Anas bin Malik dan Zaid bin Tsabit berkata: “ Kami makan sahur bersama kemudian beliau berdiri untuk shalat shubuh, saya (Anas bin Malik) bertanya kepadanya : “Berapa jarak antara adzan dengan sahur? Beliau menjawab: “Kurang lebih sepanjang bacaan lima puluh ayat.” (Muttafaqun ‘alaihi)

  1. Bersahur dengan Tamr (kurma)

Alangkah baiknya dalam hidangan sahur terdapat tamr (kurma). Nabi , bersabda:


Sebaik-baik makanan sahur seorang mu’min adalah tamr.” (HR. Abu Dawud dan lainnya, lihat Ash Shahihah no. 562)

  1. Waktu Akhir Makan Sahur

Waktu terakhir untuk makan sahur telah ditentukan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah yaitu dengan terbit dan jelasnya fajar shadiq (fajajr kedua, pertanda masuknya waktu subuh), sebagaimana firman Allah Ta’ala :


Silahkan kalian makan dan minum sampai tampak jelas cahaya fajar.” (Al Baqarah: 187)


Sebagaimana pula dalam hadits ‘Aisyah :


Sesungguhnya Bilal beradzan pada malam hari, maka berkata Rasulullah : “Silahkan kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum beradzan, sesungguhnya dia tidak beradzan kecuali setelah terbit fajar.” (HR. Bukhori)

  1. Imsak Menurut Timbangan Islam

Berdasarkan dalil-dalil diatas, maka ketentuan imsak tidak ada tuntunannya dari Rasulullah . Karena istilah imsak sendiri bagi orang yang bersahur, tidak pernah dikenal oleh Rasulullah dan para sahabatnya.


Al Imam Malik mengatakan: “Segala sesuatu (baik perkataan ataupun perbuatan –pen) pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya bukan termasuk agama, maka pada hari ini bukan termasuk agama.”


Al Imam Asy Syafi’i menuturkan: “Barang siapa yang menganggap suatu perkara (perkataan atau perbuatan yang tidak pernah diajarakan oleh Nabi – pen) baik, sungguh dia telah membuat syariat.”

Sehingga walaupun pengumuman imsak telah dikumandangkan, sedangkan fajar shadiq (fajar kedua, pertanda masuknya waktu subuh) belum tampak, maka masih diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk makan sahur.

Namun demikian, jangan cenderung bermudah-mudahan dalam masalah ini. Pastikan, ketika masuk waktu shalat shubuh anda benar-benar telah bersahur.


  1. TUNTUNAN RASULULLAH DALAM BERIFTHAR (BERBUKA)

  1. Kapan Berifthar?

Al-Ifthar dilakukan bila telah masuk waktu malam sebagaimana firman Allah Ta’ala:

Kemudian sempurnakanlah shaum sampai malam hari.” (Al-Baqarah: 187)


Ayat ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah bahwa hal itu terjadi bila telah muncul kegelapan malam dan telah hilang cahaya siang serta tenggeleamnya matahari, sebagaimana hadits Abdullah bin Abu Aufa berkata : “Kami bersama Rasulullah dalam sebuah perjalanan di bulan Ramadhan, ketika matahari telah terbenam, beliau Rasulullah berkata: “Wahai fulan turunlah (dari kendaraanmu) dan siapkan makanan untuk kami! Sahabat tadi berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya engkau masih di siang hari. Berkata Rasulullah : “Turunlah dan siapkan makan untuk kami! Kemudian orang tersebut turun lalu mempersiapkan makanan dan menghidangkannya kepada Rasulullah , beliau pun kemudian minum seraya berkata sambil menunjuk dengan tangannya: “Jika matahari telah tenggelam dari arah sini (barat) dan telah muncul kegelapan malam dari arah sini (timur) maka telah boleh berbuka bagi orang yang shaum.” (Muttafaqun ‘Alaihi)


  1. Menyegerakan Ber-ifthar

Menyegerakan ifthar merupakan sunnah Rasulullah yang harus diamalkan. Karena ada sebagian dari kita yang menunda ifthar sampai selesai shalat maghrib.

Al Imam Ahmad meriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik , beliau berkata :

Dahulu Rasulullah berifthar sebelum shalat (maghrib –pen)”.


Para pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala, menyegerakan ifthar terdapat padanya keutamaan yang banyak, diantaranya:

    1. Menyegerakan ifthar akan mendatangkan kebaikan

Sebagaimana hadits Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah bersabda :

Kaum muslimin akan selalu berada dalam kebaikan (kemuliaan) selama mereka …. Menyegerakan al-ifthar.” (Muttaqun ‘alaihi)


Rasulullah bersabda:

Senantiasa umatku dalam keadaan baik atau di atas fitrah selama mereka tidak mengakhirkan shalat maghrib sampai munculnya bintang-bintang.” (Hadits ini dishahihkanoleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi. (lihat Silsilah Ash Shahihah no. 631, karya Asy Syaikh Al Albani)


    1. Menjaga dan menghidupkan sunnah Rasulullah

Sebagaiman hadits dari sahabat Sahl bin Sa’d :

Umatku akan senantiasa di atas sunnahku, selama mereka tidak menunda iftharnya sampai munculnya bintang-bintang.” (HR. Ibnu Hibban, lihat Fathul Bari hadits no. 1957)


    1. Menyelesihi Yahudi, Nashara, dan Syi’ah

Sebagaimana hadits Abu Hurairah :

Agama ini akan senantiasa tegak selama umat Islam menyegerakan ifthar, karena Yahudi dan Nashara adalah orang-orang yang mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shahid At Targhib no. 1075)


Al Imam Ibnu Daqia Al-Ied menjelaskan bahwa penundaan Al-ifthar adalah kebiasaan Yahudi dan Nashara juga merupakan kebiasaan kelompok sesat Syiah, yang mana mereka selalu menunggu munculnya bintang-bintang di langit (sebagai tanda awal berifthar bagi mereka –pen) dan ini menyelisihi sunnah Rasulullah .


  1. Dengan apa berifthar?

Alangkah baiknya bagi seorang yang shaum agar berifthar dengan ruthab (kurma setengah masak), kalau tidak mendapatkannya boleh dengan tamr (kurma masak), kalau tidak ada boleh dengan air, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :

Bahwasannya Rasulullah dahulu berbuka (berifthar) sebelum Maghrib dengan beberapa ruthab, jika tidak mendapatinya maka dengan kurma yang sudah masak, kalau tidak mendapatinya maka dengan meneguk air beberapa tegukan.” (Shahih Sunan Abu Dawud hadits no. 23546, karya Asy Syaikh Al Albani)


  1. Doa ketika berifthar

Telah disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Hakim dari sahabat Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah bila berifthar mengucapkan :

Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat dan tercatatlah al-ajr (balasannya) insya Allah.” (Shahih Sunan Abu Dawud n. 2357).

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَبْبَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْشَاءِ اللهُ

Adapun do’a yang tersebar di kalangan kaum muslimin dengan lafadz :

اللَّهُمَ لَكَ صُمْتُ وَرِزْقُكَ أَفْطَرْتُ

Para ulama hadits seperti Al Hafihz Ibnu Hajar dalam kitabnya Talkhishul Habir, Al Imam Ibnu Qayim dalam Zadul ma’ad, Asy Syaikh Al Albani dan selainnya. Mereka menyeatakan hadits ini adalah dha’if (lemah) sehingga tidak boleh dijadikan sebagai sandaran dalam beramal.


PUASA



A. DEFINISI PUASA

Puasa menurut bahasa artinya Menahan. Sedangkan menurut Syari’at, puasa artinya menahan dengan niat ibadah dari makanan, minuman dan semua hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenam matahari.


B. KEWAJIBAN PUASA RAMADHAN

1. Kewajiban Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan adalah wajib berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

  1. Qur’an surat Al-Baqarah : 183 dan 185

  2. Rasulullah bersabda :

Islam dibangun di atas lima, Kesaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, mendirikan Sholat, membayar zakat, haji ke baitullah dan puasa Ramadhan .” (Mutafaqun ‘alaihi)

2. Keutamaan Puasa Ramadhan

  1. Puasa sebagai penebus dosa dan kesalahan.

Rasulullah bersabda : “Sholat lima waktu, sholat jum’at ke sholat jum’at berikutnya dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya itu menghapus dosa-dosa di antara keduanya, selama dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)

  1. Puasa dapat membentuk pribadi yang bertaqwa

  2. Puasa dapat memasukkan hamba Allah ke dalam Surga

  3. Puasa berpahala besar di sisi Allah

  4. Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan yaitu kegembiraan di saat berbuka dan kegembiraan saat bertemu Allah di akherat kelak

  5. Bau mulut orang yang berpuasa disisi Allah lebih harum dan lebih wangi dari bau misik (minyak yang paling wangi)

  6. Puasa dapat memberikan pembelaan dan pertolongan pada hari kiamat dan bentuk yang menghalangi dari api neraka

  7. Orang yang ahli puasa akan memasuki surga dari pintu yang bernama Ar-Royyan

  8. Puasa dapat membentuk pribadi yang bisa bersyukur terhadap nikmat Allah karena akan merasakan bagaimana orang lain kelaparan


3. Keutamaan berbuat baik di bulan Ramadhan

Karena keutamaan bulan Ramadhan maka semua perbuatan baik yang dikerjakan di dalamnya juga dilebihkan. Diantaranya adalah :

  1. Sedekah

Barang siapa memberikan makanan untuk berbuka puasa kepada orang berpuasa, ia berhak atas pahalanya tanpa sedikitpun mengurangi pahala orang yang berpuasa” (HR Ahmad dan At Tirmidzi)

  1. Qiyamul Lail (Sholat Malam)

Barang siapa melakukan qiyamul lail karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya di ampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaihi)

  1. Membaca Al-Qur’an Al Karim

Rasulullah memperbanyak membaca Al-Qur’an Al Karim di bulan Romadhan dan malaikat Jibril datang kepada beilau untuk membacakan Al Qur’an Al Karim beliau di bulan Ramadhan.” (HR Bukhori)

  1. I’tikaf

Yaitu menetap di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala

  1. Umrah

Yaitu mengunjungi rumah Allah untuk Thawaf dan Sa’i di bulan Ramadhan.

Rasulullah bersabda: “Umrah di bulan Ramadhan sama dengan haji.” (HR. Al Bukhori)


C. SYARAT-SYARAT PUASA

1. Aqil (berakal)

2. Baligh (dewasa)

3. Muslim yang sehat (tidak sakit)

4. Muqim (tidak sedang bepergian)

5. Mampu (tidak dalam kesusahan yang berat)

6. Bagi wanita tidak haid atau nifas


D. ORANG YANG MENDAPAT KERINGANAN UNTUK BERBUKA DAN WAJIB MENGQODHO’ (MENGGANTI)

1. Orang yang sakit dan masih ada harapan sembuh

2. Musafir

Jika seorang muslim melakukan perjalanan sejauh jarak yang diperbolehkannya mengqashar sholat. Jika berpuasa tidak memberatkan maka lebih baik berpuasa

3. Wanita hamil dan menyusui

Jika menghkhawatirkan keselamatan diri dan anaknya atau janinnya

4. Orang lanjut usia (tua)

Jika tidak sanggup berpuasa sebagai gantinya memberikan makan setiap hari kepada orang miskin


E. RUKUN PUASA RAMADHAN

  1. Menahan diri dari hal yang membatalkan puasa

  2. Niat, keinginan dalam hati untuk berpuasa karena ingin mendekatkan diri kepada Allah dan melaksanakan perintah Allah

  3. Waktu, yaitu sepanjang siang hari di bulan Ramadhan sejak terbit fajar hingga matahari terbenam


F. SUNNAH-SUNNAH PUASA

  1. Sahur

Makan dan minum pada waktu sahur atau akhir malam

  1. Mengakhirkan sahur sampai sakhir waktu malam

  2. Menyegerakan berbuka jika telah nyata matahari tenggelam

  3. Berbuka puasa dengan kurma matang, segar atau kering atau paling tidak dengan air

  4. Berdo’a saat berpuasa dan ketika berbuka

Dzahabadl-dhomaa-u wabtallatil-‘uruuqu watsabatal-ajru Insyaa Allah”

Artinya: “Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan pahala telah tetap. Insya Allah”.


G. HAL YANG MAKRUH DALAM PUASA

  1. Berlebih-lebihan dalam berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika berwudhu

  2. Mencicipi minuman atau makanan tanpa udzur

  3. Mengunyakh karet, karena di khawatirkan ada bagian karet yang measuk ke dalam tubuh

  4. Mengeluarkan darah yang dapat melemahkan tubuh


H. HAL YANG DIBOLEHKAN DALAM PUASA

  1. Berendah atau menyelam ke dalam air

  2. Bersiwak atau menggosok gigi, pada pagi hari atau sore hari

  3. Bepergian karena kebutuhan yang diperbolehkan

  4. Berobat dengan obat apa saja yang halal dan tidak masuk ke dalam perut (bukan infus makanan)

  5. Mencicipi makanan

  6. Memakai minyak wangi atau mencium bau wangi-wangian


I. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA

  1. Makan dan minum dengan sengaja

  2. Air masuk ke hidung karena berlebihan dalam berkumur dan memasukkan air ke hidung dalam berwudlu

  3. Muntah dengan sengaja

  4. Memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam perut melalui mulut

  5. Membatalkan niat berpuasa

  6. Murtad (keluar dari Agama Islam)


J. HAL-HAL YANG DITOLERIR (TIDAK MENGAPA)

  1. Menelan ludah diri sendiri

  2. Menelan lalat dengan tidak sengaja

  3. Masuknya debu atau asap

  4. Memakai minyak wangi dan mencium bau wangi

  5. Mencicipi makanan asal tak masuk tenggorokan

  6. Berobat dengan obat yang halal dan tidak masuk ke dalam mulut

  7. Bepergian jauh waulupun memaksa untuk buka

  8. Bersiwak atas menggosok gigi


WAKTU BULAN RAMADHAN

Datangnya bulan Ramadhan merupakan idaman setiap muslim. Ungkapan Ahlan Wa Sahlan Ya Ramadhan ( selamat datang Ya Ramadhan ) tidak hanya keluar dari qalbu dan lisan, baahkan persiapan demi persiapan pun selekas mungkin dilakukan, dengan penuh harapan dan kegembiraan semoga bisa bertemu dengan bulan suci umat Islam itu.



A. PENENTUAN BULAN RAMADHAN

Penentuan mulai masuknya bulan Ramadhan dilakukan dengan cara melihat bulan terbit sebagai tanda dimulainya awal bulan Hijriah, yang lebih populer disebut Ru`yatul Hilal. Apabila terhalangi oleh mendung atau semisalnya, maka caranya ialah dengan melengkapkan bilangan hari dalam bulan Sya`ban menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah :


Bershaumlah berdasarkan ru`yatul hilal dan berhari-rayalah berdasarkan ru`yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung atau semisalnya, maka genapkanlan bilangannya menjadi 30 hari.”

Adapun hadits Abdullah bin Umar :


“…jika terhalangi, maka perkirakanlah.” Makna dari kata “perkirakanlah”, telah diterangkan oleh Rasul sendiri pada hadits yang sebelumnya, yaitu :


Maka lengkapilah bilangannya menjadi 30 hari atau lengkapilah bilangan Sya`ban menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhkari)

Dari hadits-hadits di atas jelas sekali bahwa penentuan masuknya Ramdhan dengan Ru`yatul Hilal. Sehingga ilmu perbintangan dan ilmu hisab tidak bisa dijadikan landasan untuk menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan. Hal ini bisa ditinjau dari berbagai sisi, diantaranya :

1. Bertentangan dengan nash (dalil) dari Al Qur’an yang mengaitkan hukum shaum dengan ru’yah daan persaksian hilal. Sebagaimana firman Allah yang artinya: ”Barangsiapa yang menyaksikan syahru (hilal) Ramadhan, maka bershaunlah.” (Al Baqarah:185)

2. Bertentangan dengan Dhahir hadits-hadits yang shahih (sebagaimana hadits-hadits diatas)

3. Bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para Shahabat, Tabi’in dan para Imam setelah mereka.

4. Adanya pernyataan dari para ahli ilmu perbintangan sendiri, bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki, dan kenyataan terjadi terjadinya perbedaan di kaalangan ahli hisab sendiri dalam menentukan hilal.


B. BERPUASA DAN BER-IEDUL FITHRI BERSAMA PEMERINTAH DAN KAUM MUSLIMIN

Bulan suci Ramadhan dan Iedul Fithri/Adha merupakan syi’ar Islam yang agung. Rasulullah telah pula menegaskan tolok ukur bagi kaum Muslimin tentang waktu pelaksanaannya tersebut, yaitu dengan mengutamakan prinsip jama’ah (kebersamaan). Rasulullah bersabda:


Ash Shaum (Ramadhan) itu pada hari kalian semua bershaum, Iedul Fithri itu pada hari kalian semua ber-Iedul Fithri dan Iedul Adha itu pada hari kalian semua ber-iedul Adha.”(HR.At Tirmidzi, lihat Ash Shahihah no. 224, karya Asy Syaikh Al Albani)


Mengedepankan kebersamaan merupakan prinsip yang selalu dijaga dan diwasiatkan pula oleh para sahabat Nabi dan juga para imam-imam setelah generasi mereka.


Al Imam Al Baihaqi meriwayatkan sebuah atsar dari ‘Aisyah , pada hari Arafah (9 Dzuhijah), Masruq datang menemui ‘Aisyah , ketika itu Masruq ragu untuk bershaum, karena pada hari itu sudah masuk hari Iedul Adha (10 Dzulhijah). Maka ‘Aisyah berkata:”An Nahr (Iedul Adha) itu adalah pada hari kaum Muslimin ber-Iedul Adha dan Iedul Fithri pada hari kaum Muslimin kaum Muslimin ber-Iedul Fithri.”Maksud dari perkataan ‘Aisyah adalah merujuk (bersandar) kepada prinsip kebersamaan bukan prinsip pribadi. (Ash Shahihah 1/442)

Al Imam Ibnul Abdil Bar menukil pendapat dua orang Tabi’in, Asy Sya’bi dan An Nakha’i. Keduanya menyatakan bahwa tidak boleh seorang pun bershaum kecuali bersama jama`ah(kaum Muslimin).

Al Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayatnya: “Shaum itu dilakukan bersama Imam dan jama’ah baik dalam keadaan (langit) itu cerah ataupun mendung.”(lihat Majmu` Fatawa 25/114-118)

Al Imam At Tirmidzi berkata: “Beberapa ulama menafsirkan makna hadits ini, yaitu bahwa penentuan shaum dan Iedul Fithri bersama dengan jama`ah atau mayoritas kaum Muslimim.”

Abdul Hasan Hasan As Sindi dalam Hasyiah Ibnu Majah – setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi – berkata: “Makna yang nampak pada konteks hadits ini; “Sesumgguhnya dalam perkara penentuan (Ramadhan, Iedul Fithri, dan Iedul Adha –pen), tidak ada pintu bagi individu untuk bicara dalam masalah ini, dan tidak boleh pula menyendiri (menyelisihi mayoritas). Bahkan perkara tersebut dikembalikan kepada Pemerintah dan jama`ah (kaum muslimin). Setiap individu muslimin berkewajiban untuk mengikuti Pemerintah dan jama’ah.” (lihat Ash Shahihah 1/442)

Ketahuilah wahai para pembaca! Asy Syaikh Al Albani adalah salah satu Ulama yang merajihkan (menguatkan) bahwa ru’yah satu negeri berlaku untuk seluruh negeri lainya, namun beliau memberikan nasehat yang sangat berharga bagi seluruh kaum Muslimin, dalam kitabnya Tamamul Minnah hal 298 - ? berkata: “Tetapi saya berpendapat bahwa seorang kaum Muslimin hendaknya mengerjakan shaum Ramadhan bersama Pemerintahnya masing-masing dan tidak mengikuti pendapatnya sendiri-sendiri. Ada yang menjalankan shaum bersama Pemerintah dan yang lainnya tidak, baik mendahului atau membelakangi, karena hal ini akan memperluas perpecahan.”

Asy Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Merupakan kewajiban kaum Muslimin untuk selalu di atas kebenaran, tidak boleh bercerai-berai didalam agama Allah. Allah berfirman (artinya): “Dia (Allah) telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama sebagaimana telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kalian bercerai-berai tentangnya.”(Asy Syura :13). Dan Allah juga berfirman (artinya): “Maka berpegang teguhlah kalian semuanya dengan tali Allah dan janganlah kalian bercerai berai.” (Ali Imron :103). Dan Allah juga berfirman (artinya): “Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah datang keterangan yang jelas pada mereka. Merreka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang pedih.”(Al Imron :105).

Sehingga wajib menyatukan kalimat (barisan) kaum Muslimin dan tidak berpecah belha di dalam agama Allah.

Penetapan waktu shaum Ramadhan adalah satu dan penetapan Iedul Fithri mereka juga adalah satu. Dengan cara mengikuti sebuah lembaga (resmi –pen) yang telah ditentukan oleh mereka –yang saya maksudkan adalah sebuah lembaga yang menaungi berbagai urusan kaum muslimin- dan janang sampai mereka berpecah-belah, meskipun mungkin berbeda dengan waktu shaum Kerajaan Saudi Arabia atau Negara-negara Islam lainnya, maka tetaplah mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh lembaga (pemerintah) tersebut. (Fatawa fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52, karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin).