INDAHNYA KESUCIAN



Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsari


Membersihkan najis ternyata tidak sulit bila tahu ilmunya. Karenanya kita mesti tahu tata cara membersihkan najis seperti yang dituntunkan syariat. Supaya kita tidak berlebih-lebihan dalam membersihkan najis tersebut dan tidak pula meremehkannya.

Membersihkan najis merupakan perkara yang disyariatkan dengan kesepakatan ulama. Namun sangat disayangkan, banyak orang yang tidak mengetahuinya. Padahal perkara ini sangat penting baginya, khususnya berkaitan dengan masalah ibadah yang hendak dia tunaikan kepada Allah , seperti shalatnya ataupun ibadah lainnya. Oleh karena itu setelah kami membahas tentang najis, berikut ini kami ingin memaparkan tata cara pembersihan najis tersebut. Mudah-mudahan Allah  memberi taufik.

Asal pembersihan terhadap perkara najis adalah dengan menggunakan air. Allah berfirman:
“Dia menurunkan kepada kalian air dari langit (hujan) agar Dia mensucikan kalian dengannya…”. ( Al-Anfal: 11)
”Dan Kami menurunkan air dari langit sebagai pensuci” . (Al-Furqan: 48)

Pembersihan najis dengan air ini dapat berpindah kepada sarana lain, seperti hadits Abu Said Al Khudri yang menyebutkan sabda Nabi  tentang pembersihan najis pada sandal dengan digosokkan ke tanah atau hadits tentang istijmar (bersuci dengan menggunakan batu). Oleh karena itu, kita lihat pembersihan beberapa perkara najis yang datang penjelasannya di dalam hadits Rasulullah .

1. Kencing

Ketika ada seorang A‘rabi (Arab gunung) kencing di salah satu sudut masjid Rasulullah . Para shahabat yang ada di tempat tersebut berteriak mencerca orang tersebut, namun Rasulullah  melarang mereka berbuat demikian dan setelahnya beliau bersabda :
“Tuangkan di atas kencingnya itu satu timba penuh yang berisi air1…”. (HR. Bukhari no. 220, 6128 dan Muslim no. 285) Imam Nawawi t berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa tanah yang terkena najis dapat disucikan dengan menuangkan air di atasnya dan tidak disyaratkan tanah itu harus digali. Ini merupakan pendapat kami dan jumhur ulama”. (Syarah Muslim, 3/190-191)

Ibnu Daqiqil Ied t menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan, tanah dapat disucikan dari najis dengan menuangkan air yang banyak tanpa harus memindahkan tanah yang terkena najis ke tempat lain. (Ihkamul Ahkam, 1/83)

Tanah ini bisa disucikan dengan cara tersebut, sama saja apakah tanah itu lembek atau padat, demikian dikatakan Imam Shan‘ani (Subulus Salam, 1/42)

Adapun kalau kencing tersebut mengenai pakaian maka dicuci bagian yang terkena najis sebagaimana mencuci sesuatu yang kotor/najis. Tidak seperti perbuatan orang-orang Yahudi yang menggunting pakaian mereka bila terkena kencing, sebagaimana disebutkan haditsnya dalam Shahih Bukhari (no. 226) dan Shahih Muslim (no. 273).

2. Kotoran Manusia

Rasulullah  bersabda :
“Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran manusia padanya, hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat.” (HR. Imam Ahmad, 3/20. Hadits ini shahih kata Syaikh Muqbil t dalam Al Jami’ush Shahih 1/526)

Dalam hadits di atas Rasulullah  mengajarkan cara membersihkan alas kaki (sandal ataupun sepatu) yang menginjak kotoran yaitu dibersihkan dengan menggosokkannya ke tanah. Ini menunjukkan tanah itu bisa sebagai pensuci dari najis selain air.

Berkata Imam Syaukani t : “Dzahir hadits ini menunjukkan tidak ada perbedaan antara berbagai jenis najis, bahkan setiap yang menempel pada sandal yang dianggap sebagai kotoran maka pensuciannya dengan mengusapkannya ke tanah”. (Nailul Authar, 1/76)

Rasulullah  juga mengajarkan cara bersuci dari buang air kecil dan buang air besar selain dengan air, yaitu dengan menggunakan batu yang diistilahkan dengan istijmar, sebagaimana datang haditsnya dari Abu Hurairah z bahwasanya Rasulullah  bersabda:
“Dan siapa yang bersuci dengan menggunakan batu, hendaklah ia mengganjilkannya” . (HR. Bukhari no. 162 dan Muslim no. 278)

Hal ini biasa dilakukan oleh Rasulullah  sebagaimana beliau memerintahkan Abdullah ibnu Mas’ud z untuk mencari batu (HR Bukhari no.156) dan juga perintah beliau kepada Abu Hurairah untuk mengambil batu yang hendak beliau gunakan untuk bersuci (HR Bukhari no. 155). Kedua riwayat ini mengandung perintah sehingga menunjukkan bahwasanya istijmar bisa dilakukan dalam keadaan apa pun walaupun ada air, karena Rasulullah  akan meminta diambilkan air apabila beliau memang ingin bersuci dengan air.

Dikatakan pula oleh Al Hafidz ketika menerangkan bab Istinja’ bil Hijarah (bersuci dari buang air besar dan kecil dengan menggunakan batu) bahwa bab ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang berpandangan bahwa istinja’ hanya khusus menggunakan air. (Fathul Bari 1/321)

Hitungan ganjil yang dimaksud dalam hadits ini minimal dengan tiga batu sebagaimana dalam hadits Salman z, di antaranya ia berkata: “Sungguh Rasulullah  melarang kami untuk istinja (cebok) dengan menggunakan kurang dari tiga batu”. (HR. Muslim no. 262) Demikian pula pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan ashabul hadits, bahkan mereka mensyaratkan tidak boleh kurang dari tiga batu agar najis itu bersih. Apabila belum tercapai pembersihan itu hanya dengan tiga batu, maka dia boleh menambahnya sampai bersih, dan dalam hal ini disenangi untuk mengganjilkan jumlah batu tersebut. (Fathul Bari 1/323)

Dibolehkan pula untuk mengganti ketika tidak ada batu dengan selainnya, kecuali tulang dan kotoran (tahi) kering karena telah datang larangan pemakaian keduanya dari Rasulullah . Ini pendapat jumhur ahlul ilmi. (Syarah Muslim 3/157)

3. Wadiy

Pembersihannya hanya dengan mencuci kemaluan dengan air seperti halnya bersuci dari kencing dan buang air besar.

4. Madzi

Ketika ‘Ali z menyuruh seorang shahabat, Miqdad ibnul Aswad, menanyakan kepada Rasulullah  tentang tata cara membersihkan madzi yang mengenai kemaluan. Beliau menjawab:
“Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)

Nabi  memerintahkan untuk mencuci kemaluan bila keluar madzi. Yang dimaksud dengan mencuci di sini menurut pendapat Imam Syafi`i dan jumhur ulama adalah mencuci bagian yang yang terkena madzi saja (dari kemaluan dan anggota badan lainnya yang terkena) tidak perlu mencuci seluruh kemaluan (Syarah Muslim, 3/213)

Ibnu Hazm berkata: “Mewajibkan pencucian kemaluan secara keseluruhan adalah pensyariatan yang tidak ada dalil padanya”. (Al Muhalla,1/107)

5. Darah haid yang mengenai pakaian

Asma’ bintu Abi Bakr x menceritakan :
“Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah  : “Ya Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?’ Maka Rasulullah  bersabda, ‘Apabila darah haid mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya dia mengeriknya lalu membasuhnya, kemudian ia boleh shalat memakai pakaian tersebut.’ ” (HR. Bukhari no. 227, 307 dan Muslim no.291 )

Imam Shan‘ani mengatakan: “Wajib untuk mencuci pakaian yang terkena darah haid dan bersungguh-sungguh untuk menghilangkan bekasnya berdasarkan apa yang disebutkan dalam hadits dengan dikerik memakai jari, dikucek dengan air dan dicuci untuk menghilangkan bekas darah tersebut. Dan dzahir hadits menunjukkan tidak wajibnya melakukan selain hal tersebut. Kalau masih terlihat bekas darah maka tidak wajib menggosoknya dengan menggunakan benda yang keras/kesat karena tidak disebutkan hal demikian dalam hadits Asma’ x sementara hadits ini merupakan tempat keterangan dan juga karena datang riwayat pada selain hadits ini dengan lafadz : “Tidak bermasalah bagimu bekas darah tersebut (setelah berusaha menghilangkannya dengan tata cara yang disebutkan)” (Subulus Salam, 1/60)
Disenangi mencuci darah haid yang terkena pada pakaian dengan menggunakan air dan daun bidara2 serta dikerik dengan ranting karena hal ini bisa menghilangkan bekas darah dari pakaian tersebut daripada sekedar dicuci dengan air saja3. Demikian dikatakan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (1/141) dengan membawakan hadits Ummu Qais bintu Mihshan yang bertanya kepada Rasulullah  tentang darah haid yang mengenai pakaian. Sedangkan hadits Ummu Qais ini dikatakan oleh Ibnul Qaththan: “Sanadnya benar-benar shahih dan saya tidak mengetahui padanya ada cacat”. (Talkhis Habir, 1/52)
6. Kulit bangkai

Bangkai hewan termasuk perkara najis, demikian pula kulitnya. Oleh karena itu bila kulit bangkai itu hendak dimanfaatkan harus disucikan terlebih dahulu dengan cara disamak.

Rasulullah  bersabda :
“Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya” . (HR. Muslim no. 366)

Yang dimaksud dengan menyamak adalah menghilangkan bau busuk dan lendir (cairan) yang najis dengan mengunakan benda-benda atau obat-obatan tertentu dan selainnya. Kata Ibrahim An Nakha‘i: “Penyamakan adalah segala sesuatu yang mencegah rusaknya kulit.” (Tuhfatul Ahwadzi , 5/327).

Berkata Syaikh Abul Qasim sebagaimana dinukil dalam Al Muntaqa Syarah Muwaththa Imam Malik: “Kulit bangkai sebelum disamak itu najis namun setelah disamak menjadi suci dengan kesucian yang khusus”.

Dengan penyamakan ini kulit tersebut menjadi suci, luar dan dalamnya, sama saja apakah kulit itu berasal dari hewan yang dimakan dagingnya ataupun tidak. Setelah kulit disamak boleh dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan benda-benda yang kering dan yang cair. (Tuhfatul Ahwadzi, 5/327)

7. Air liur anjing pada bejana
Nabi  bersabda:
“Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian hendaklah ia mencuci bejana tadi sebanyak tujuh kali”. (HR. Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279)

Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
“cucian yang pertama dicampur dengan tanah”.

Hadits di atas menunjukkan bejana yang dijilat anjing dicuci dengan air sebanyak tujuh kali dan cucian yang pertama dicampur dengan tanah. Kita mengambil riwayat:
“cucian yang pertama dicampur dengan tanah”.

Sementara di sana ada riwayat-riwayat lainnya, karena riwayat ini lebih kuat dari sisi banyaknya, lebih terjaga dari keganjilan dalam periwayatannya dan juga lebih kuat dari sisi makna, demikian kata Al Hafidz Ibnu Hajar. (Fathul Bari , 1/346)

Imam Shan‘ani mengatakan: “Riwayat yang menyebutkan pencucian pertama dengan tanah lebih kuat karena banyak yang meriwayatkannya, juga karena dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. Yang demikian ini dipakai ketika mentarjih (menguatkan) riwayat-riwayat yang berselisih”. (Subulus Salam, 1/39)

Dan pencucian sebanyak tujuh kali ini hukumnya wajib, demikian pendapat Syafi‘i, Ahmad dan jumhur ulama. (Aunul Ma‘bud, 1/94)

Pembersihan jilatan anjing ini bisa dengan cara menuangkan air ke atas tanah atau menuangkan tanah di atas air atau bisa pula dengan cara mengambil tanah yang telah bercampur dengan air lalu digunakan untuk mencuci bejana tersebut. Adapun sekedar mengusap bekas najis dengan tanah maka tidaklah mencukupi. (Taisirul ‘Allam, 1/35).

Mungkin muncul pertanyaan, apakah tanah bisa digantikan oleh pembersih yang lain seperti sabun/deterjen. Perkara ini diperselisihkan oleh ulama, namun yang kuat adalah tanah tidak bisa digantikan oleh yang lain.

Karena apabila telah datang nash yang menunjukkan terhadap makna tertentu dan dimungkinkan makna yang khusus terhadap makna tertentu tersebut maka tidak boleh mengesampingkan ataupun membuang nash tersebut. Demikian dinyatakan oleh Al-Imam Ibnu Daqiqil Ied dalam Ihkamul Ahkam, 1/31.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab. 


PEMBAGIAN JENIS AIR

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t ketika ditanya tentang pembagian air, beliau menjawab :
Yang rajih, air itu terbagi dua, thahur (suci dan mensucikan -red) dan najis. Air yang berubah karena masuknya benda najis maka air itu najis. Sedangkan air yang tidak berubah dengan masuknya benda najis maka air itu suci. Adapun menetapkan jenis air yang ketiga, yaitu air yang thahir (suci tapi tidak mensucikan -red) maka tidak ada asalnya dalam syariat. Dalil dalam hal ini adalah karena tidak adanya dalil. Kalau memang ada dalam syariat pembagian air yang thahir, niscaya akan diketahui dan dipahami dengan hadits-hadits yang menjelaskan. Karena perkara ini sangat dibutuhkan penerangannya dan hal ini bukanlah perkara yang remeh, permasalahannya berkaitan dengan pilihan apakah seseorang bisa menggunakan air tersebut untuk bersuci atau tidak, sehingga ia harus tayammum.
(Majmu` Fatawa wa Rasail ,
Fadlilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/85 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al Mar'ah Al Muslimah, 1/187)


HUKUM ASAL SEGALA SESUATU ITU SUCI – BAGIAN 2

Pada edisi yang lalu dibahas beberapa hal yang diperselisihkan kenajisannya oleh para ulama, antara lain: air liur anjing, mani, darah, orang kafir, khamar, dan muntah manusia.

Berikut lanjutan pembahasannya.

Daging Babi
Ulama berselisih tentang najis atau tidaknya daging babi, namun yang rajih (kuat) daging babi ini suci bukan najis. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan Daud Adz Dhahiri. (Tahqiq fi Ahaditsil Khilaf, 1/70).

Mereka yang mengatakan daging babi najis berdalil dengan firman Allah dalam surat Al-An‘am ayat 145 :
Katakanlah; Dari apa yang diwahyukan kepadaku, aku tidak mendapatkan sesuatu yang diharamkan untuk memakannya kecuali bila makanan itu berupa bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi karena dia merupakan rijs atau merupakan sebab kefasikan dan keluar dari ketaatan atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…”.

Rijs dalam ayat di atas mereka maknakan dengan najis. Tapi yang benar maknanya adalah haram, karena memang demikian yang ditunjukkan dalam konteks ayat ini, di mana ayat ini datang untuk menjelaskan perkara yang diharamkan untuk memakannya bukan perkara yang najis. Dan sesuatu yang haram tidak berarti ia najis, bahkan terkadang didapatkan sesuatu yang haram itu suci seperti firman Allah  yang menyatakan haramnya menikahi ibu dan yang seterusnya dari ayat ini, sementara seorang ibu tidaklah najis.

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Tsa‘labah Al Khasyani yang menunjukkan perintah untuk mencuci bekas bejana ahlul kitab dengan alasan mereka menggunakan bejana tersebut untuk memasak babi dan untuk minum khamar. Maka dalil mereka ini dijawab bahwa perintah mencuci bejana di sini bukan karena najisnya tapi untuk menghilangkan sisa makanan dan minuman yang diharamkan untuk mengkonsumsinya. Demikian dijelaskan oleh Imam Syaukani dalam Sailul Jarrar (1/38).

Bekas makanan dan minuman hewan

Berkata Ibnul Mundzir t: “Seluruh yang kami hapal dari ahlul ilmi berpandangan bahwa bekas makanan/minuman hewan yang dimakan dagingnya itu suci. Di antara yang kami hafal berpendapat demikian ini Ats Tsauri, Syafi`i, Ahmad dan Ishaq. Ini merupakan pendapat ahlul Madinah dan ashabur ra’yi dari ahlul Kufah”. (Al Ausath 1/313). Bahkan dinukilkan dari beliau adanya ijma` (kesepakatan) dalam masalah ini.

Adapun hewan yang tidak dimakan dagingnya diperselisihkan oleh ahlul ilmi, namun kebanyakan dari mereka, di antaranya Imam Syafi‘i dan Malik, berpendapat suci bekas makanan/ minuman tersebut. Dan pendapat ini yang rajih, dengan alasan bahwasanya secara umum sulit untuk menghindar dari hewan-hewan ini, karena penduduk di pedesaan bejana-bejana mereka terbuka sehingga didatangi oleh hewan-hewan liar ini dan minum darinya. Seandainya kita mengharuskan mereka untuk menumpahkan air tersebut dan mewajibkan mereka untuk mencuci bejana bekas jilatan hewan tersebut niscaya hal itu sulit bagi mereka. (Syarhul Mumti‘, 1/396). Pendapat ini berpegang dengan hukum asal, karena sesuatu itu dihukumi suci selama tidak berubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, warna, atau rasa). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar